Set your guitars and banjos on fire,
and before you write a song:
smoke a pack of whiskey
and it’ll all take care of itself.
—Beck
Kami bertiga (Budi, Bada, dan Badu) di Kompleks Timbuktu Permai ini merasa melihat betapa nge-band sepertinya cool. Padahal tak satupun dari kami yang bisa memainkan instrumen musik apapun dengan benar. Tapi kami cuek, karena denger-denger ‘cuek’ itu juga cool.
Segepok rencana pun disusun, dan rencana kami paling dekat adalah: ‘menjadi band terkenal’. Kalau bisa secepatnya. Karena itu kami berniat untuk berlatih keras di garasi tua bobrok di bawah rumah pohon kami, sebab denger-denger banyak band terkenal yang memulai karirnya dari tempat-tempat cool semacam itu. Badu pun terpaksa merelakan VW Combi-nya—yang lebih mirip rongsokan besi tua ketimbang mobil—dipindahkan dari garasi. Ya, ya, ya, harus dengan didorong, tentu saja. Terlalu lama dia mogok, dan semua tukang bengkel di seluruh dunia sudah angkat tangan. Ketika kami dorong rongsokan itu keluar, bodinya berderit-derit menyakiti telinga. Saya ingat betul, bahkan ketika si VW Combi sialan ini masih jalan pun (itu artinya waktu Muhammad Ali masih perkasa di ring tinju), bunyinya juga udah nggak keruan. Mesinnya berderak-derak, bannya koclak, jendela kacanya gemeretak. Pokoknya semuanya bunyi, kecuali klakson. Tak ada yang bisa dibanggakan dari rongsokan itu, kecuali jika menurut Badu, adalah plat nomornya: B 4 DU. Itu pun sebenarnya kami nggak bangga. Biasa aja.
Persiapan dimulai. Kami harus menyulap garasi tua itu demi tujuan mulia: punya studio latihan sendiri. Ayo bagi tugas! Badu kebagian memindahkan barang-barang sambil menggerutu (peti-peti kemas milik Badu sebenarnya cool sih, tapi kami selalu curiga salah satu di antaranya berisi mayat, jadi kami nggak mau ambil risiko latihan band metal kami yang bising nanti bakal membangunkan arwah-arwah yang penasaran). Saya kebagian tugas menyapu dan mengepel lantai, memperbaiki atap bocor (untung ada how to-nya di internet), dan menyemprotkan pewangi ruangan (yang juga bisa kamu pesan via online). Bada mendapat kehormatan (okay, sebenarnya itu hasil undian, karena kami rebutan) untuk menyebar undangan ke kos-kos cewek di sekitar rumah pohon kami, demi menjajaki kemungkinan awal adanya groupies band kami yang soon-to-be-famous ini. Hoho, pede dong. Sebab pede itu juga cool.
Setelah menjaga garasi itu supaya tetap dalam kondisi “nggak terlalu kotor, tapi juga nggak bersih-bersih amat” (sebab kami denger agak kumuh itu juga cool), kami pun siap latihan! Badu tampak siap dengan celana jeans robek-robeknya (konon ini juga cool), Bada memakai topi panjang ala Slash (atau mungkin Mr. Robin, saya suka ketuker), karena katanya ciri khas penampilan itu penting, demi image band (tapi kok nyontek yang sudah ada ya?). Sementara saya, sudah siap dengan… bekal makan siang. Lho? Yoi, kalau rocker kena maag juga nggak cool bukan?
Setelah sambutan dari Bada (kami bertiga memang sepakat menuakan dia), dan sepatah dua patah kata dari Badu (kami anggap dia perwakilan anak muda dari karang taruna setempat), dilanjutkan acara gunting pita dan tabuh gong, potong nasi tumpeng dan minum jus wortel, maka studio latihan (d/h garasi) kami pun resmi dibuka. Kami bertiga sepakat menamakan studio baru itu dengan: ‘Latihan’. Nama yang lumayan cool, bukan? Jadi kalau dibaca lengkap: Studio Latihan. Edan! Alangkah brilian ide kami ini, yang memang kurang suka istilah-istilah yang sok berat penuh kiasan. Kami bertiga ini orangnya lugas-lugas saja. Okay, sedikit bodoh memang. Tapi peduli setan, pokoknya kami siap ngeband dan mengguncang dunia!
Di saat itulah kami baru menyadari sesuatu: kami belum punya alat musik satu pun.
* * *
Damn! Kami merasa sangat bodoh. Ini esensial, Bung! Bagaimana kami bisa latihan kalau nggak ada alat musik satu pun? Bahkan sekadar kicrik-kicrik pun kami nggak punya. Setelah saling tuding saling menyalahkan (Badu: “Elu sih Bud, mikirinnya interior dapur mulu!” Budi: “Heh, enak aja, gue kan juga harus mikirin logistik dan konsumi, tauk!” Mulai panas: “Elu tuh yang kerjanya nggak bener! Dasar NATO!” Debat kusir: “Elu kali yang NATO! Gue Pakta Warsawa!” Lanjut, “Yee… elu!” Nyaris tonjok-tonjokan: “Elu!!!” … “Elu!!!”), akhirnya Bada berhasil melerai kami berdua dan mengaku salah, “Sudah, sudah. Jangan berantem. Ini salah saya. Harusnya kemarin saya survey alat-alat band, tapi malah keliru beli alat pancing dan penggorengan ikan.”
Saya dan Badu melongo berdua. Arghhh. Kita ini mau ngeband atau magang jadi koki? Dasar blo’on. Tapi karena Bada adalah anggota yang kami tuakan, jadi segala makian itu cukup diucapkan dalam hati saja, supaya lebih afdol dan tidak memicu konflik. Aamiin. Akhirnya, setelah memasang senyum palsu secukupnya, kami sepakat untuk pergi ke toko alat musik dan belanja segala keperluan kami di sana. Tapi problemnya adalah: kami semua lagi bokek. Kas persaudaraan kami sudah ludes untuk merenovasi garasi menjadi studio, dan sisanya sudah kami habiskan di meja judi. Gawat.
“Ada usul guys, gimana caranya kita beli alat musik?”
“Gue tahu!” Badu bangkit dari duduknya, tangannya mengepal dan matanya berbinar-binar. Saya dan Bada langsung berdoa dalam hati semoga kali ini usul Badu bermutu. “Gimana kalo kita ke toko musik, lalu kita pecahin semua alat di sana?”
Saya dan Bada saling berpandangan, bingung. “Ehmm, maksudnya…?”
Badu mendengus. “Ah, dasar bodoh kalian ini. Di toko kan suka ada tulisan ‘Pecah Berarti Membeli‘! Jadi kalo kita pecahin alat musik di sana, berarti kita membelinya!”
Astaga. “DUITNYA, monyooooongggg!!!”
Sampai sekarang kami masih suka heran, apa sebenarnya yang ada di pikiran Tuhan ketika beliau menciptakan Badu. Setelah melalui musyawarah untuk mufakat (awww, betapa kami menjaga nilai-nilai luhur bangsa!), keputusan bersamanya adalah: kami harus bekerja terlebih dahulu, mengumpulkan dana untuk membeli alat-alat musik idaman kami. Pokoknya kami harus bisa nge-band!
* * *
Besoknya, kami pun mulai mencari uang dengan kemampuan kami masing-masing. Ada yang ‘terpaksa’ kembali menulis naskah komedi untuk salah satu acara lawak paling fenomenal di sejarah pertelevisian negeri ini (ehem!). Ada yang pulang kampung dan diam-diam menjual kerbau-kerbau peninggalan kakek. Pokoknya kami kumpulkan uang “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Hmm, ngomong-ngomong itu peribahasa yang agak aneh ya: maunya ngumpulin duit, kok dapetnya malah bukit? Apa bukitnya harus kita jual dulu, baru kita dapet duit? Ah rumit.
Sementara Badu berusaha mencari uang dengan jualan balon di SD-SD. Kasihan, rupanya dia belum tahu, bahwa ketimbang lagu “Balonku ada limaaa, rupa-rupa warnanyaaa…“, anak-anak jaman sekarang lebih akrab dengan “Aku punya teman… uh, uh… Teman tapi mesraaa…” Begitu tahu, Badu langsung banting setir, jualan lotre di bungkus permen karet. “Gimanapun juga, judi itu abadi, Bos. Nggak kenal jaman.” Walhasil, bukannya untung malah buntung. Dia berurusan dengan pihak sekolah dan kepolisian, karena menjanjikan hadiah motor padahal bohong. Badu pun dijebloskan ke penjara dengan pasal penipuan. Tapi dengan bantuan Setan, yang kebetulan dikurung di sel sebelah atas tuduhan pemaksiatan umat, Badu berhasil kabur dari penjara.
Sebagai ucapan terimakasihnya, Badu mendirikan usaha baru: atraksi Tong Setan. Itu lho, akrobat naik motor muter-muter di dalam tong raksasa. Dia sendiri yang jadi penunggang motornya. “Gini-gini gue ada bakat pembalap,” ujar Badu pede. Padahal seingat kami, satu-satunya balapan yang pernah dia ikuti adalah karapan sapi.
Sialnya, usaha Tong Setan ini pun tak banyak menghasilkan uang. Malah lebih sering nombok, karena harga BBM selalu naik dan naik terus. Dan rasanya kok sayang aja gitu, buang-buang bensin cuman buat muter-muter bloon di tong bego kayak gitu. Dirundung putus asa, plus bisikan Setan tentunya, akhirnya Badu memutuskan untuk (maaf) jual diri. Sayang caranya salah: dia berteriak-teriak sambil menjajakan dagangannya, “Diri, diri! Diri!” Bukannya laku, orang-orang malah menganggapnya gila. Mungkin mereka benar.
Saya dan Bada merasa kasihan. Bagaimanapun, Badu bagian dari kami. Dia hanya khilaf. Akhirnya dengan semangat persaudaraan, penuh haru kami merangkul Badu. Kami mengajaknya insyaf, menggandengnya pulang. Trio Budi Bada Badu utuh lagi, dan kabar bagusnya, awas, kami akan memakai huruf kapital: UANG KAMI SUDAH CUKUP UNTUK BELANJA ALAT MUSIK!
Kami bertiga pun berangkat ke toko alat musik yang sudah kami incar dari dulu. Sepanjang jalan, saya dan Bada bernyanyi-nyanyi riang (sekaligus mengasah persediaan stok lagu-lagu awal kami, yang sebenarnya sudah cukup banyak untuk sekadar double album), sementara Badu hanya diam saja dari tadi. Mungkin dia masih merasa nggak enak dengan kejadian tempo hari, apalagi secara finansial dia tidak ikut berkontribusi. Ketika pelan-pelan kami yakinkan bahwa itu beneran nggak papa, dia malah heran, “Kalian ini kenapa sih? Gue kan lagi mikir, gitar merk apa yang sebaiknya kita beli nanti!”
* * *
Setibanya di toko (wah, namanya Toko ‘Musik’!, hohoho kami langsung merasa satu frekuensi!), atas rekomendasi kuat—untuk tidak mengatakan setengah memaksa—dari petugas parkirnya, akhirnya Badu memilih satu gitar lusuh di pojok toko. “Itu gitar legendaris peninggalan musisi terkenal di jamannya!” demikian katanya sambil menyodorkan kartu parkir kami. Lalu gitar itu pun kami periksa dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tampak di stikernya yang sudah kusam, nama merk-nya: ‘Tua’. Well, ini pertanda bagus. Dengan gitar ‘Tua’ ini, Badu pasti kan merasa seperti Rhoma Irama. Kami jadi curiga, jangan-jangan Pak-Petugas-Parkir tadi mantan anggota Soneta.
Bada, sebagai musisi spesialis alat tiup, mulai mencari-cari saksofon. Kami memang sempat terpikir mengubah aliran band kami menjadi jazz (karena kata sebuah lagu, “…daripada musik metal/ lebih baik musik jazz…“), tapi rupanya Toko ‘Musik’ ini tidak menjual saksofon. Di etalase musik tiup kami hanya menemukan harmonika (yang segera kami hindari, karena mengingatkan pada pengamen country blues di warung sop kaki kambing langganan kami), pianika (aduh, memangnya anak SD ujian EBTA praktek?), seruling bambu (oh no, kami bukan band si gembala sapi!), dan… terompet bekas sisa Tahun Baru kemarin.
Astaga, kami salah memilih toko. Dengan suara tercekat, Bada bertanya, “Alat musik tiupnya cuman ada ini doang, Mbak?” Si Mbak-Pelayan-Yang-Lumayan mengangguk sambil tersenyum manis kayak tebu. Tapi dia mendadak seperti teringat sesuatu, lalu bergegas ke arah salah satu lemari. Dikeluarkannya kotak hitam lusuh, sambil berkata, “Ini ada satu lagi, Dek…” (Wah, ge-er juga dipanggil ‘Dek’. Pasti wajah imut kami inilah penyebabnya!)
Tapi ketika kotak hitam itu dibuka, lemaslah kami bertiga demi melihat isinya: peluit!
“Gimana, Dek, tertarik? Ini alat tiup juga kan? Kata distributornya, ini limited edition lho! Bisa dibilang rare lah!”
Tunggu. Peluit? Distributor? Tanpa aba-aba, kami bertiga serentak menoleh ke luar. Tampak Pak-Petugas-Parkir cepat-cepat melengos sambil bersiul-siul layaknya tak mendengar percakapan kami. Damn, apa yang bisa kami harapkan dari toko musik sialan ini?
Akhirnya, malas-malasan Bada mengambil seruling bambu. “Jangan kuatir, teman-teman. Saya akan memodifikasinya biar sedikit lebih berkelas. Band besar sekaliber Jethro Tull saja juga memakai seruling.” Okay bro, terserah kamu deh. Toh Bada adalah anggota persaudaraan yang kami tuakan, dan bagaimanapun, menghormati orang yang lebih tua adalah sikap terpuji.
Oya, sebagai vokalis, supaya nggak terlalu nganggur waktu manggung ntar, saya pikir saya butuh kicrik-kicrik. Tapi lagi-lagi stok toko lagi kosong. Alasan Mbak-Pelayan-yang-Lumayan kali ini adalah, “Lagi nge-trend di kalangan musisi indie sekarang. Sold-out mulu dari bulan kemarin.” Okay deh. Sebagai gantinya, saya beli game-watch Tetris. Toh fungsinya sama: supaya saya nggak terlalu nganggur di atas panggung. Jadi saya bayangkan, ketika membawakan salah satu lagu hits kami, yaitu sehabis saya menyanyikan bagian reffrain dua kali, lalu Badu akan bersolo gitar (yang pasti akan memakan waktu cukup lama, karena dia krisis eksistensi), maka selama itulah saya akan main Tetris. Cool.
Saatnya membayar. Di kasir, kami gagal meminta diskon. Padahal Badu sudah menyamar menjadi fakir miskin dan anak terlantar yang dipelihara oleh negara. Lihat, celananya dekil, kaosnya robek-robek, tapi sialnya bermerk mahal. Tentu saja pihak toko nggak percaya. Hmm, Mbak Kasir cantik juga (potensial groupies awal?), tapi kok kayak judes dan pelit. Dan bener aja. Waktu nggak ada kembalian, kami dikasih permen. Bayangkan!
“Kembaliannya permen aja ya Dek? Sok atuh, kalian masing-masing ambil 1 permen!”
Kami kesal bukan main. Enak aja kembalian tiga ratus perak diganti permen. “Kenapa sih Mbak, kembaliannya mesti permen?”
Jujur aja, kejudesannya tadi sudah lumayan mengurangi kecantikannya. Apalagi setelah dia menjawab, “Karena kalian masih kecil, masih anak-anak. Jadi kembaliannya pakai permen…”
Oh man, meski berwajah imut-imut, kami bukan anak-anak! Badu tampak kesal, dari hidungnya keluar api, “JADI KALO KITA NTAR UDAH GEDE, KEMBALIANNYA PAKE BIR?!?!”
* * *
Di jalan pulang, kami masih agak kesal dengan perlakuan toko yang aneh tadi. Tapi kami mencoba tetap fokus dengan cita-cita luhur kami semula: Menjadi Anak Band! Ya ampun cool banget. Di kepala kami tersusun lagi rencana-rencana awal: latihan di garasi, manggung di gig-gig indie, upload lagu kami di internet, dilirik produser idealis yang mumpuni, kontrak rekaman yang menggiurkan, masuk TV dan terkenal, jadwal manggung yang padat, dikerubutin cowok-cowok, eh cewek-cewek, dsb., dst., dll., etc…
Sayang seribu sayang, mimpi tinggal mimpi. Semuanya terpaksa kandas, bahkan sebelum kami mulai. Ini gara-gara satu musibah absurd yang menimpa kami. Di jalan pulang tadi, kami bertemu, ehmm… seekor naga.
Ya, ya, ya, saya tahu kalian pasti tidak akan percaya. Selama ini kami juga berpikir naga hanya hidup di cerita-cerita dongeng belaka. Tapi sekarang, kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Besar, sangat besar, dan nyata. ASTAGA NAGA RAKSASA!
Sebelum kami sempat berpikir mengambil langkah seribu, Sang Naga sudah terlanjur mendenguskan nafas api, membakar habis semua alat musik kami! Kami sangat marah, tapi terlebih lagi, sebenarnya, kami sangat takut. Dia lalu membuka mulutnya lebar-lebar, mau memakan kami! Tak sempat menjerit, kami bertiga saling berpelukan seperti finalis AFI yang dieliminasi, sambil berikrar sehidup semati. Naga itu pun menelan kami.
Di saat itulah kami mulai paham arti istilah “mulut lu bau naga, bro.” Apalagi kami belajar langsung di lapangan, langsung dari sumber yang paling terpercaya. Tak kuat menahan bau naga mulut Sang Naga, kami bertiga pun jatuh pingsan. Ketika siuman, kami baru menyadari sudah berada di dalam perut Sang Naga.
Sejak saat itu, kami harus menjalani sisa umur kami di sana. Sampai detik ini. Kami masih berpikir keras, bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini. Mungkin dengan menuliskan cerita ini, sidang pembaca menjadi tergerak menolong kami. Kalian bisa mengirimkan saran-saran lewat surat pembaca, ke PO BOX N464. Kami tunggu ya. Terima kasih lho.
Salam,
Budi, mewakili Bada dan Badu.
*) Judul cerita ini diilhami dari judul film dokumenter Anak Naga Beranak Naga (2006), oleh sutradara Ariani Darmawan. Tulisan ini dicetak terbatas di buletin Warta Kongsi yang diterbitkan untuk acara Book’s Day Out 2006.
hihihihihihihi…..kocak dan absurd… =)))))
tadinya mo bilang bagian ini paling keren => maunya ngumpulin duit, kok dapetnya malah bukit? Apa bukitnya harus kita jual dulu, baru kita dapet duit? Ah rumit.
trus pas terusin baca, ini juga kok keren ya.. => dan kabar bagusnya, awas, kami akan memakai huruf kapital:
eeeh trus baca yang ini..jadi bingung mana yg lebih keren.. => “JADI KALO KITA NTAR UDAH GEDE, KEMBALIANNYA PAKE BIR?!?!”
tapi ternyataa… gongnya banget adalah… bagian.. ketemu naga..!!! mhuaahahahahaha… absurd iya, sekalian pembenaran gak jadi cool yang udah gak bisa dibantah lagi.. Gimana mo dilawan? astaga naga raksasa, gitu lho…
: ))))
ABSURD :)))))))))))))))))))