(cerita pendek oleh Joni Ariadinata)
Seperti dalam film, Oto dan Wiwik pasti bahagia. Artinya, tidak susah-susah lagi cari tempat sembunyi kalau hanya sekedar mau main-main porno; bisa berlari-larian di tepi pantai sambil membawa bunga dari pagi sampai sore, main kuda-kudaan, tamasya sesuka hati kemana pun tanpa khawatir nginap di losmen: semuanya pasti oke. Boleh. Jelas karena semua tujuan hidup kini telah berakhir. Dunia penuh bunga, cekikik geli, bisikan cinta, dan sebangsanya yang bagus-bagus. Yang senang dan suka. Sungguh, kalau tidak percaya silahkan tanya sama Ujang, pada Bohim, terutama pada Agus yang kini dipenjara karena berkelahi. Apa saja yang mereka pikirkan ketika berpacaran dengan Siska? Apa cita-cita mulia mereka berdua ketika senang-senang di tepi hutan waktu jam pertama lonceng berdentang. Dan Bohim lantas menculik Linda karena dulu Pronocitro juga menculik Roro Mendut.
“Wik sayang, ijinkan nanti membuka bengkel motor. Bengkelku pasti laris. Terkenal, dan kita akan banyak uang buat nonton film.”
“Bagus. Ah, pasti kamu sangat capek. Tapi jangan takut, aku akan membantumu dengan jualan gado-gado!”
“Di depan bengkelku? Jangan jauh-jauh.”
“Ya. Bila perlu, kita satukan dengan bengkelmu.”
“Demi Tuhan. Kita tidak akan berpisah barang sesenti. Kau harus bersumpah… demi Tuhan!”
“Ya. Demi Tuhan. Sudahlah…”
“Kelak kita bikin rumah yang besar. Tingkat dua, ya, ya. Ah, tapi jangan… Itu tidak boleh saja. Aku takut kalau kamu hamil nanti kepeleset. Terus jatuh di tangga. Anak kita bisa cacat, kan?”
“Aku tidak mau punya anak pincang!”
“Heh-heh-heh, ya jangan dong. Harus sehat, semua sehat. Minum susu yang banyak (aku juga ya? –aiiih, genit ih; jangan begitu…); daging yang banyak, mainan yang banyak, baju yang banyak. Semuanya banyak.”
“Di perutku, nanti kamu bikin sepuluh?”
“Sepuluh?! Woooow, tidak… tidak. Harusnya sebelas. Biar pas buat kesebelasan. Ha-ha-ha!”
“Hik-hik-hik.”
Dan Wiwik tidak mesti gemetar meski masih bau kencur. Oto tak kalah hebat meski orang berkata masih ingusan. Anak muda sudah biasa, apalagi sekarang Oto sudah bebas membopong Wiwik di tempat terang. Bukankah Oto dan Wiwik sudah kawin?
Memang. Yang namanya kawin, berarti semua permasalahan sudah beres. Kawan-kawan sekelas semua berdatangan membawa kado (bayangkan, betapa banyaknya barang-barang mereka nanti: sebagian bisa bisa dijual, sebagian bisa dipakai). Semua gembira: “Lu jantan juga To! Hebat deh gua bener-bener salut. Selamat menempuh hidup baru ya? Ingat lho, jangan keras-keras, nanti Wiwik bisa tereak. Alamaaaak…” Semua tertawa. Riuh. Oto dan Wiwik ganti meledek: “PR Pak Hardi yang sangar itu kumpulkan!” “Waaah, mentang-mentang lu sudah bebas. Sial, awas lu!!” “Makan tuh pelajaran kimia dan matematika. Gua sih sudah pensiun. Ya enggak? Makanya jangan menghayal melulu. Kebanyakan nonton BF lama-lama lu bisa sableng. Tiru gua. Ngapain sekolah. Mendingan kawin. Ya enggak?
Emak dan Abah yang dulu galak tidak ketulungan juga turut senyum mengurut dada. Pada waktu sungkem orangtua terakhir kalinya mencoba berkata (barangkali saking bosannya): “Nak, kini terpaksa kamu sudah jadi orang. Kalau buah itu namanya dikarbit. Kalau sapi itu namanya dikawin pakai inseminasi buatan. Berumahtangga itu sulit. Sulit itu artinya tidak gampang. Tidak gampang itu artinya sukar. Dan sukar… (wuaaah, mulai lagi). Jadi Oto, mulai besok carilah kerja. Wiwik, apakah kamu sudah siap menjadi ibu?” Biasa, orang tua di manapun memang selalu kuno. Menyebalkan.
* * *
“Selamat pagi, Mamah.”
“Selamat pagi, Papah.”
Karena pengantin baru, maka harus rileks, meski tetap bersemangat. Betul-betul dijaga, misalnya dengan berjalan mesra berdua bergandengan tangan ke pasar membeli telur ayam kampung dan madu palsu setiap hari. Tidur yang cukup, bangun jam sembilan atau jam sepuluh, jika berkenan siang pun bisa jadi. Berdebat untuk merencanakan nama panggilan: Oto harus bilang Mamah sama Wiwik, Wiwik setuju bilang Papah pada Oto. Berdebat untuk memilih menu makanan: Hari ini indomie, besok sarimi, besoknya lagi supermi, kemudian popmie; dan kalau bosan barulah beli nasi bungkus.
Tak ada yang bakal protes karena Abah dan Emak sudah mengontrakkan “rumah kita” di pinggir kota yang sumpek. Tak usah khawatir karena di rumah kita yang berkuasa cuma kita berdua. Seperti dalam film Pengantin Pulau Biru, semua enak. Seperti dalam novel-novel murahan, semua pasti nikmat. Karena hidup itu bisa dibuat gampang, dan berduaan siang dan malam itu indah. Makanya kalaupun suatu hari Wiwik harus cemberut, jangan salah tafsir jika Oto tidak sanggup tidur semalam suntuk. Jika Wiwik menangis, Oto bertekuk lutut, “Sudahlah kekasih, dengarlah Mamah pujaan hidup dan mati. Papah berjanji deh mulai besok tidak akan lagi ngorok. Papah tidak tahu kalau Mamah betul-betul takut. Sungguh.” Begitupun sebaliknya, kalau Oto sakit hati. Seisi bumi dan langit, dilihat Wiwik persis mirip neraka. Duhai pujaan hati! Kalau terus-menerus begitu, Wiwik pun bisa mati.
* * *
“Papah, selamat sore. Mamah, selamat sore. Kita berdua hari ini lapar,” katanya. Seminggu, dua minggu, tiga bulan, kehidupan berjalan seperti bulan mengelilingi bumi. Bintang-bintang tetap berkerlip. Persoalan perdebatan “rumah bertingkat dua” sepakat berakhir di kertas gambar: bahwa coretan pinsil kotak-kotak kecil berarti maksudnya kamar, dan kotak-kotak besar itu jelas ruang tengah. Dapurnya kecil saja karena Wiwik yang usul, serta diusahakan Oto yang mengecat dengan warna krem. Di taman, nanti ada kolam berisi ikan merah-kuning dan hitam. Harus ada bangku di bawah palem, atau cemara juga bisa. “Kita bisa duduk di sini,” Oto menunjuk gambar. Wiwik mencubit. Kemudian mereka berdua tidur, barangkali gambar itu besok pagi harus dirombak lagi.
Hal lain yakni rencana membuka bengkel motor yang sudah jelas penuh keraguan. Sebab Oto tak bisa memperbaiki motor. Apalagi bongkar-bongkar mesin. Harus kursus dulu, sementara mempelajari rumus-rumus listrik rasanya pasti payah. Tambal ban? Ha… Wiwik yang tidak tega, katanya. “Kasihan Oto, nanti bisa sakit gudig sebab tukang tambal sama saja dengan kuli; di samping penghasilannya nanti tak seberapa. Mana bisa beli VCD Player? Nah, apakah Oto juga tega melihat Wiwik jadi penjual gado-gado? Oto sering melihat penjual gado-gado di pinggir jalan bajunya amburadul rambut tak terurus, “Tidak Mamah, kasihku, Papah takut badanmu bau. Seperti Mbok Jurig. Rambutnya riwig–riwig…”
“Jadi sekarang bagaimana?” keduanya terdiam. Telentang diam-diam. “Kita sudah tidak punya uang. Badan Mamah semakin kurus. Kasihan engkau Papah, kalau Mamah peot, bagaimana? O ya, Papah!” tiba-tiba Wiwik masih ingat sesuatu. “Katanya Papah mau menjual termos di kerdus. Kado dari Sandra? Kasihan ya Sandra…”
“Ya, kasihan Sandra,” Oto menggaruk-garuk kepala. “Ke tukang loak?”
“Aiiiih!” Wiwik memekik. Menubruk di pangkuan Oto, “Tidak, tidak, darling. Masa Mamah tega sama Papah. Papah malu nanti kan? Uh-uh-uuuuuuh,” Wiwik tersedu. “Maafkan Mamah, darling,” ia menangis. Oto jadi terharu dan mengelus rambut Wiwik penuh perasaan. Penuh perlindungan. Oto jadi merasa tangannya seolah-olah begitu perkasa sehingga perlu menengadahkan wajah Wiwik dan menghapus air matanya lembut, seperti pahlawan: “Jangan tumpahkan air matamu kekasih. Seluruh margasatwa pasti sedih. Tataplah aku, dewiku, masih ada aku di sini. Jadi jangan takut. Sudahlah. Lupakan hal sepele. Kita keluar, Mamah, menikmati angin malam. Kita berjalan sambil memandang langit. Menatap lampu-lampu, kemudian kita duduk di sana dan biarkan aku tetap memelukmu.”
* * *
“Bagaimana kata Abah?” Wiwik bertanya. Menghapus peluh di dahi Oto, “Engkau capek, Papah. Pasti capek.”
“Kita sudah sembilan kali ke tempat Abah. Ini yang terakhir, sebagai modal. Aku malah bingung mau diapakan. Katakanlah Mamah, apa pendapatmu?” Oto merebahkan badan di sofa. “Tidak banyak, tapi ini yang terakhir.” Wiwik terdiam. Lama. Berpikir lama-lama dan tak ada sedikitpun jalan yang harus dijawab. Tapi sebagai istri ia paham kekasihnya pasti sedih, “Baiklah Papah, bagaimana kalau kita nonton film saja? Engkau hanya terlalu capek, dan dengan menonton film pikiran kita bisa segar. Lagi pula sudah enam bulan kita tidak ke sana.” Ya, sungguh Oto takjub atas kealpaannya. Sungguh ia lupa.
Sepasang merpati yang melompat-lompat diantara deretan toko. Dari pintu Cineplex menelusuri trotoar, berebut sebungkus kacang dan kue donat, tertawa-tawa. Tersenyum bergenggaman tangan, “Seperti dulu ya Papah. Seperti enam bulan yang lalu sekali. Apakah tidak boleh Papah? Kalau hanya sekedar menonton-nonton saja barang sebentar di supermarket? Mungkin dengan melihat deretan pakaian bagus-bagus pikiran kita bisa lebih bebas lagi.”
Ya, tentu boleh. Badai, samudra, langit ambruk, gunung himalaya, apapun tak mampu menentang. Mereka berpandangan; memegang, melihat, mengelus, mencoba-coba, mencium keharumannya, lantas dengan geli berkedip-kedip. Ada sinar cinta tersangkut di gantung-gantung Hammer berselat halus jumper biru bergaris putih, tentu boleh, sebab Oto amat trenyuh. Ada kerinduan melayang pada hamparan levis di balik kaca, tentu boleh, sebab Wiwik amat kasih. Dibungkus di meja, dibayar di kassa. Harga yang amat murah dibanding cinta milik mereka. Kenapa dibuat susah sedang hidup berdua segalanya menjadi indah? “Homyped Papah, bentuk yang bagus untuk sandal wanita. Indomie, supermie, sarimie, popmie, Papah?” Dan matahari tenggelam dalam gurat warna melon. Langit biru bersih di timur ada kelepak bangau. Ketika malam terkapar dalam kegelisahan mendadak, “Bagaimana kalau semuanya ini habis Papah? Sedang kita tak punya modal untuk berbuat apa lagi.”
Kenapa cinta tidak boleh dibiarkan begitu bersih. Sehingga pecinta-pecinta sejati bebas bernyanyi sepanjang hari tanpa ada duka dan murka. Tapi lupakanlah, bahwa hari ini mereka masih bisa tertawa, membuka jendela, memandang pagi. Bunga-bunga seperti musim semi, daun-daun tumbuh di awal musim penghujan.
Tak ada malam menjadi gelap karena mata mereka selalu terlelap dalam dekap. Tak ada siang menjadi hilang karena mereka kini tak lagi takut bayang-bayang. Detik demi detik, hari demi hari, dan genap seminggu ketika jendela rumah kita tertutup. Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai saat orang-orang mencium bau busuk dan menemukan mereka bertubuh kaku. Mata anak-anak yang baik, dan cinta mereka begitu indah. Betapa orang-orang akan menatap langit karena teramat sedih. Memandang ke surga. Atau entah di mana…
*
Yogyakarta, 1994.
Diketik ulang dari buku Air Kaldera (Joni Ariadinata, Aksara Indonesia, 2000).
>> Untuk melihat arsip Cerpen Favorit lainnya silakan klik di sini.