Sekitar tahun 1995-1996, ketika masih duduk di bangku SMA di Solo, saya iseng membeli kaset ini. Kombinasi nama band dan judul album yang terbaca puitis dan misterius [“mesin tuhan: gelak tawa terakhir menjelang ajal…”, tampak keren] bikin saya bertanya-tanya seperti apa musiknya. Desain sampulnya sederhana, putih polos, saya jadi tambah penasaran. Saat itu kebetulan kondisi segelnya tidak bisa dicoba dulu di toko kaset gara-gara mbak penjaganya tampak judes, padahal biasanya bisa lho, jadi dengan mengucap bismillah saya merogoh dompet dan membawa pulang kaset itu ke kamar kos saya. Musiknya terlalu gelap dan industrial, sound tebalnya lumayan intimidatif dan bikin puyeng anak SMA baik-baik pendengar Dewa 19 seperti saya, yang bahkan terlalu sungkan untuk sekadar bertanya ke gerombolan sebelah, teman-teman seangkatan yang suka bolos, merokok dan mulai coba-coba mabok sambil nyetel lagu-lagu keras. Di rak kaset saya yang disusun sesuai urutan abjad nama artist, apa boleh buat, album ini harus rela diapit oleh Fun Factory dan Hanson. Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menghayati sendiri album ini. Setel dengan volume sepantasnya (jangan terlalu pelan, tapi jangan juga sampai bikin kamar kos sebelahmu melempar sandal ke pintumu), lebih afdol lagi sambil baca-baca liriknya. Lagu pertama side A langsung dibuka dengan kalimat suram “Cut myself/ because I can’t see the beauty..” Busyet. Nomor selanjutnya lebih brutal lagi kata-katanya, “Daddy took his hand and knocked me to the ground/ Daddy said, “Faggot, fight like a man!” di lagu yang berjudul… “Mama”! Mungkin perbandingan ini tidak terlalu tepat, tapi di kuping saya waktu itu kaset The God Machine ini terdengar seperti sepupu jauh The Smashing Pumpkins dan Tool yang lebih udik, lebih purba (atau lebih hakiki, tergantung cara Anda memaknai kepurbaan), yang seperti kurang beruntung harus bekerja di tambang tua milik seorang tuan tanah yang tamak: pasokan bir dingin sangat kurang, sementara matahari tak kunjung terbenam. Lebih geram, lebih menggelisahkan. Lebih bertenaga dan lebih menghantam! Ada 14 lagu di situ dan separuhnya memakai judul “The […] Song”. Mungkin mereka hanya tidak suka basa-basi. Bahkan di nomor paling lembut, “In Bad Dreams”, yang dalam bayangan saya petikan gitarnya bisa saja diganti denting piano, tetap ada kalimat nyeri yang menyeruak, “When you sleep do you see an angel in dying light?/ But you only see me in bad dreams.” Bertahun-tahun kemudian, di era internet, saya baru ngeh rilisan-rilisan awal Mogwai (sebelum menjadi terlalu postrock) ternyata sangat dipengaruhi oleh band berumur pendek ini. Di sleeve kaset One Last Laugh In A Place Of Dying… yang irit informasi ini (hanya ada teks lirik sambung menyambung tanpa tanda jeda antarlagu, dan data elementer rilisan), tepat di bawah tracklist ada teks persembahan yang cukup mencolok: “Dedicated to Jimmy Fernandez”. Rupanya itu dimaksudkan bagi sang bassist yang meninggal karena tumor otak saat rekaman ini baru selesai di-take. Dibanding rilisan-rilisan The God Machine sebelumnya (saya peroleh di era mp3 trader), materi album ini terdengar jauh lebih mentah. Ternyata itu karena para personel yang masih hidup tak mau ada proses mixing. Mereka ingin rekaman itu terdengar persis seperti saat si bassist masih berada di tengah-tengah mereka, tepat ketika proses rekaman itu harus terhenti, jujur apa adanya. Tak bisa membayangkan ada bassist pengganti, mereka sepakat untuk mengakhiri riwayat band ini. Sedih.
* * *
NB: Kaset The God Machine era SMA itu hilang terselip entah di mana saat saya pindah ke Bandung. Beberapa waktu lalu, saya berhasil mendapatkannya kembali di lapak kaset bekas. Ada coretan dari pemilik/pembeli sebelumnya, dari tulisan tangannya sepertinya dia perempuan, bertuliskan [sic]: “To the guy that has given me pleasure more than he knows, hepi 22nd besdey.” Wow. Cewek menghadiahi cowok dengan kaset sangar seperti ini, how cool is that?
(((STREAMING)))