RIP Pak Sujud (1953-2018)

Hari ini pitung ndinane alias tujuh hari meninggalnya musisi nyentrik Sang Pengamen Agung, the one and only Sujud ‘Kendang’ Sutrisno. Seharian saya memutar terus-menerus vinyl favorit saya sepanjang masa, Street Musicians of Yogyakarta, dari label Amerika bernama Mississippi Records (2011) yang memuat satu nomor Pak Sujud. Piringan hitam ini sebetulnya hanyalah reissue dari kaset kompilasi field-recording rilisan 1982, Music For Sale: Street Musicians Of Yogyakarta, yang direkam di kawasan Jogja dan sekitarnya oleh Jack Body seorang etnomusikolog asal Selandia Baru, dibantu oleh Yono Soekarno, dari November 1976 hingga Januari 1978. Semua credit title penyanyi/musisi di plat reissue itu ditulis sebagai “Unknown Artist”—selain keteledoran, mungkin memang susah dilacak keberadaannya saat mau dirilis—kecuali track Pak Sujud tadi, ditulis sebagai “Mas Sujud”. Lagu sepanjang empat menit itu dijuduli “Dangdut Medley”, liriknya nyaris tak ada bedanya dari apa yang terus-terusan Pak Sujud lantunkan dan racaukan sampai bertahun-tahun kemudian. Signature dia memang begitu-begitu saja, yang justru sulit ditiru: lagu-lagu pop, tradisional, tembang dolanan, dangdut, lagu anak-anak yang pernah ngetop di pasaran, dioplos dengan nada-nada ciptaannya sendiri, pembentukan makna-makna baru lewat lirik jenaka yang dia permainkan seenaknya dengan guyon Mataraman lewat attitude punk jalanan, DIY at its finest (pun intended), cut-and-paste dan susun-ulang-jadi-puzzle-baru dengan peluang teka-teki yang puluhan kali lipat lebih mengagetkan (“Kalau nangis, oek, oek!/Kalau lapar, oek, oek!/Kalau pipis, crit, crit!/Terus dibanting…”), tema-tema non-sequitur (“Anak istri menjual sapu/Kalau mandi pakai sepatu”), dan tentu saja beat-beat kendang tunggalnya yang ikonik itu. Liner notes di plat rilisan Mississippi Records itu memuji permainan kendangnya (“his exhilarating drumming”), juga perpindahan yang licin dari satu lagu ke lagu lainnya, terutama “between the ‘synchronised’ vocal line of the opening and the syncopated second song, was dazzling.” Di video singkat yang diunggah ke YouTube oleh kanal Tribun Jogja TV, Emha Ainun Nadjib berkomentar di rumah duka, “Kalau Jogja ndak punya Sujud, yo kurang. Ada lubang di hati.” Menurut Cak Nun, almarhum Sujud ini seperti mendiang Markeso, seniman ludruk ontang-anting yang legendaris asal Surabaya, dan kendang Sujud itu layak disimpan di museum. Di tahun 2016 pernah diadakan pameran seni di Bentara Budaya Yogyakarta merayakan Sujud Kendang, di situ Sindhunata menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa) yang antara lain berbunyi, “Sujudku sujud kendang/nyujudi sangkan paran/lor kidul kulon wetan/kiblatku golek sandang pangan.” Golek sandang pangan! Demi kebutuhan pokok! Sujud Kendang memang contoh nyata dari berkesenian untuk cari makan. Susah untuk tidak terharu mendengar cerita dari orang yang pernah berbincang dengannya, bahwa Pak Sujud merasa kendala utama dalam karir “door-to-door”-nya adalah hujan, karena sulit baginya bermain kendang sambil memegang payung. Dan saya bayangkan dia akan tetap antusias menghibur orang-orang sekaligus meledeknya, “Kalung kendhang yen teka mesthi kepethuk/Yen ra kleru Mbak Tutik ambune penguk!” (Berkalung kendang, kalau datang pasti berpapasan/Kalau tidak salah, Mbak Tutik bau tengik!) Pak Sujud yang saat mengamen selalu memperkenalkan diri sebagai “petugas PPRT” alias Pemungut Pajak Rumah Tangga, menurut saya lebih effortlessly cool ketimbang seniman-seniman eksentrik lainnya, seperti Doel Kamdi yang kebetulan memang seangkatan, atau Igor Tamerlan di dekade selanjutnya. Tiga hari berselang dari kabar lelayu Pak Sujud, Igor Tamerlan juga meninggal di Yogyakarta. Saya masih ingat pendapat menarik dari Igor di tahun 1991, saya baca di majalah TEMPO yang ketika itu sedang membahas musik rap, tren musik global yang mulai melanda Indonesia dan dia malah ngerap dalam bahasa Bali, di kaset Bali Vanilli-nya yang fenomenal, “Tiada salahnya meniru, asal lebih bagus.” Itu juga yang saya rasakan tiap kali menyimak Sujud Kendang: di tangan dia, semua lagu beken itu malah jadi lebih keren ketimbang aslinya! Sebetulnya ini modus standar Pak Sujud, mempermainkan ambang batas, mencomot sesuatu dan menggenjotnya lebih jauh lagi menuju teritori entah apa, levelnya sudah dua-tiga langkah di seberang. Estetika Sujud Kendang, selain praktik mashup yang disimplifikasi menjadi sekadar disebut “medley”, adalah intertekstualitas yang disengaja atau tidak, malah diambyarkan lagi. Lagu “Boi Boi Sariboi”, misalnya. Di lidah Pak Sujud, lagu “Sorry Boy”-nya Usman Bersaudara ini sudah bukan lagi “Sori”, apalagi “Sorry”, melainkan “Sari” (mosok boy tapi Sari?), sehingga kedengaran makin kocak! Pak Sujud juga mengganti jawaban “Apakah kerjamu?”, dari “Main!” di versi asli Usman Bersaudara yang sok gagah, sok straatjongen, sok superior, menjadi lucu, wakwaw, twewewew!, yaitu “Tukang pijet…”, jauh sebelum ada tagar #thuglife lho ini! Salah satu yang paling saya sesali di kehidupan yang fana ini adalah bertahun-tahun saya menunda-nunda rencana saya ke Jogja, mencari rumahnya di daerah Badran yang di atas pintunya dipasang plang “Kendang Tunggal Sujut Sutresno” lengkap dengan nomor HP, dan bertanya langsung ke si empunya cerita, kenapa dia mengganti “Sorry Boy” jadi “Sari Boy”? Apakah narasi liriknya dia geser menjadi soal anak laki-lakinya si Sari, alias seseorang yang simboknya bernama Sari, ataukah Sari itu merujuk ke nama satu wilayah, si bocah dari desa Sari misalnya, atau bagaimana? Siapa tahu ada maksud lain dari kebiasaannya “taking odd verses from popular songs” kalau kata liner notes tadi, yang dia ganti dengan “puns and malapropisms with amusing and sometimes quite grotesque results”? Kenapa dari “ora gampang wong urip ing alam donya” (tidak gampang orang hidup di dunia ini) di lagu Koes Bersaudara malah dia belokkan jadi “ora gampang Mbok Surip midak Pak Arjo” (tidak mudah Mbok Surip menginjak Pak Arjo)? Beberapa tahun lalu, di ponsel saya memang belum ada aplikasi Waze, saya khawatir tersesat dan mengecewakan diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, saya bisa bertanya ke sembarang orang di jalan, mereka pasti tahu Pak Sujud! Misteri arti “Sorry/Sari Boy” yang selama ini menghantui pikiran saya mungkin selamanya bakal tetap jadi hantu, tanpa pernah bisa terjawab sampai kiamat nanti. Setelah di putaran kesekian puluh lagu tadi itu, saya baru ngeh kalau di lagu itu Pak Sujud ternyata juga visioner sekaligus profetik. Setidaknya bagi khazanah brocabulary: jauh sebelum sapaan “bro” berkembang menjadi salah satu varian fonemiknya, “vro”, Pak Sujud sudah melakukannya puluhan tahun silam lewat pelafalan tengil dia, yang bakal terdengar lebih jelas kalau Anda pakai earphones, “Boi boi sariboi/Aye velum tau…” Dan hanya Pak Sujud yang bisa membunyikan bait berikut ini, yang bahkan lebih badass (vadass?) lagi ketimbang The Doors di lagu “The End”, yang bisa sekaligus jadi permutasi seru atas dialog terakhir Anwar Sadat ke Margio di penghujung novel Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan: “Boi boi sariboi/Aye cinta mbokmu!” Perhatikan juga cara kasual dia yang hanya perlu plesetan kecil untuk menghadirkan plot twist yang mind-blowing, dari “mungkin ia mengejekku/atau memuji” ke “mungkin ia mengejekku/atau Pak Muji!” Damon Albarn pernah berkata, “There are so many old things to splice together in infinite permutations that there is absolutely no need to create anything new,” di tahun 1993, dan Sujud Kendang, seperti halnya Tiny Tim dan Wild Man Fischer, sudah ngublek-ublek ranah itu dari dekade 1960-an! Kasimex Houseband, grup musik asal Suriname yang fasih berbahasa Jawa, ketika mengcover “Boi Boi” dan videoklipnya sempat populer di kalangan pengguna platform Multiply satu dekade silam, sekitar 2007, lebih mengacu ke estetika mashup guyon Sujud ini, bahkan plek-plekan memasukkan “Aku cinta mbokmu”, ketimbang bersetia pada versi aslinya Us-Bros. Tenyata selain lucu Pak Sujud juga influential. Sugeng tindak, Pak. Di atas sana pasti jadi makin gayeng dengan hadirnya kendang sakti panjenengan. Jadi semakin, kalau pakai lingo pinjam-meminjam Pak Sujud, “Asoooy, asik istilah kini…” Matur nuwun Pak!

________
Pak Sujud “Dangdut Medley” (((streaming)))

Foto Pak Sujud saya pinjam dari web koran Bernas. Piringan hitam difoto dari koleksi pribadi saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *