The Cabs, etc.

Lagu kedua di side B piringan hitam Eloi! Lama Sabactani! (1980) pada akhir durasinya memuat potongan suara-suara mirip kerumunan, sayup-sayup seperti ada koor jalanan, atau malah orang baris-berbaris, yang dicomot para personel band Inpres dari sound bank yang tersedia di studio musik tempat mereka rekaman ketika itu, milik label Musica. Lagu “Buyung/Gerhana Negeri” itu ciptaan almarhum Cok Rampal, yang juga penulis liriknya, sebuah syair kelam tentang “kala mentari ‘kan redup atas negeri/ tegar si buyung tepiskan semua mimpi”, atau dengan kata lain: nasib masa depan yang tak jelas dari sebuah negeri. Kita bisa menebak-nebak negeri mana yang dimaksud, dan permainan hurdy-gurdy Pak Cok di situ terasa begitu menggerus hati. Beberapa personel yang masih ada—Bang Jo, Pak Sulis, dan Pak Harry—menceritakan soal sound bank di studio Musica itu kepada saya, dan juga hal-hal seru lainnya, dalam dua kesempatan terpisah di Jakarta dan Bandung beberapa tahun lalu (sementara personel lainnya, Sarah David, aka Rasmini, konon tinggal di Bali), salah satunya di suatu sore ketika ibukota diguyur hujan deras sehingga seseorang tiba ke lokasi dalam keadaan basah kuyub. Dulu mereka sampai harus menginap di studio untuk menggarap album itu, bahkan terpaksa berbulan-bulan tinggal di situ karena tak kunjung menemukan ide membuat lagu, padahal tenggat dari label sudah molor jauh. Mereka juga berkelakar bahwa di masanya pernah ada yang mengomentari musik mereka seperti “Pink Floyd yang bangkrut”. Wah, itu deskripsi yang menarik, ujar saya menimpali. Lagu mereka yang (mungkin) paling terkenal, track pembuka side A berjudul “Eloi! Lama Sabactani!”, memasukkan sound effect suara petir menyambar-nyambar mirip letusan senapan, sesuai tema liriknya mengenai Kusni Kasdut di depan regu tembak. Bunyi letusan itu terdengar lebih nyaring, dan karenanya lebih bikin merinding, ketimbang misalnya bunyi serupa di lagu “Common People”, salah satu hits terbesar Pulp dari tahun 1995. Di tahun yang sama dengan album Cok Rampal, dkk. itu muncul pula album satu-satunya Kelompok Kampungan, yang memasukkan cuplikan orasi di awal dan tengah lagu, dari sebuah kaset pidato Bung Karno yang ditawarkan oleh seseorang di surat pembaca majalah TEMPO untuk ditukar dengan sejumlah uang demi biaya kuliah. Terpisah ribuan mil dari Jakarta maupun Jogja, di kota Sheffield di Inggris sana, di kurun waktu yang kurang lebih bersamaan, Cabaret Voltaire merilis album kedua mereka di label Rough Trade, berjudul The Voice of America. Track pembukanya juga diawali dengan semacam ‘sampling’ dari rekaman newsreel, yang konon adalah suara-suara aparat sedang bersiap di sebuah konser The Beatles. Simon Reynolds di bukunya yang terkenal soal kemunculan scene postpunk di Inggris 1978-1984, Rip It Up and Start Again, menyebut Cabaret Voltaire mempelopori sesuatu yang kelak menjadi klise di genre musik industrial, yakni vocal snippets yang dicuri dari adegan-adegan film atau acara televisi. Siapa yang membutuhkan imajinasi, jika kita sudah punya televisi? Suara gitar Richard H. Kirk di sela-sela track “The Voice of America/Damage is Done”, terutama melodi di momen sekitar 4:48–4:57, kelak saya temukan kembali di interlude lagu “Nasihat yang Baik” (2009) dari Melancholic Bitch, mungkin memang dari situ? Lagu sebelumnya, “Mars Penyembah Berhala” yang paling terkenal dari album Balada Joni dan Susi, menyertakan selama semenit lebih sedikit, spoken words a la tukang obat, atau pengkhotbah, atau motivator (kadang itu susah dibedakan), dan pilihan artistik semacam itu memang punya daya tarik tersendiri karena efek dramatis yang ditimbulkan. Seperti racauan spoken words di akhir dekade 1970an oleh Remy Sylado, di lagu “Nyanyian Anak Melayu” dari albumnya yang berjudul Serenade Nyanyian Khalayak. Salah satu murid terbesar Remy, Harry Roesli, di albumnya sendiri yang berjudul Ken Arok (1977) menyelipkan celetukan “Dadah dadah, permisi dulu ya, saya mau mati…” Yang lebih menarik adalah modus menyuntikkan begitu saja potongan-potongan dialog nonmusikal dari berbagai lintas media ke dalam lagu, yang sepintas seperti tidak relevan dengan narasi utama, tapi daya kejut yang dihasilkan seringkali malah lebih menggetarkan. Rasanya seperti mendapati tiba-tiba semua hal menjadi lebih masuk akal, seperti ujung lagu “Buyung/Gerhana Negeri” tadi itu. Sebelum memegang gitar, instrumen utama yang dimainkan Kirk di Cabaret Voltaire adalah klarinet, yang biasa dia mainkan lewat efek-efek mesin. Pada tahun 2002, label Mute merilis dalam format CD tiga keping, yang saya temukan di sebuah toko musik di Bandung yang sekarang sudah gulung tikar, membundel arsip kaset-kaset rekaman awal Cabaret Voltaire era 1974-1978, ketika mereka masih berkutat dengan konsep musique concrète, memotong-motong pita kaset, lalu ditempel ulang dan disambung, ditumpuk-tumpuk sedemikian rupa di studio rumahan mereka di sebuah loteng. Saya suka fase mereka yang satu ini, melebihi fase-fase mereka setelahnya yang lebih ‘melodius’. Mereka sengaja tidak punya drummer, dan merakit oscillator primitif mereka sendiri. Chris Watson, pemain keyboard mereka (atau “electronics, tapes” jika menurut atribusi di sampul belakang piringan hitam The Voice of America) adalah tukang insinyur yang jago listrik, dan dia merakit fuzzbox khusus dari sirkuit elektronik yang diperolehnya dari majalah untuk gitar Kirk, sehingga sound yang mereka hasilkan tidak mirip siapa pun. Teknologi diperlakukan seperti mimpi buruk, di mana suara-suara bising dari mesin lo-fi murahan dan kerongkongan Stephen Mallinder yang dimanipulasi lewat perangkat DIY itu membentuk kolase bunyi-bunyian, bersama paranoia yang tumpang tindih di musik-musiknya, justru untuk menggambarkan kenyataan hidup yang setelanjang mungkin. Dan bisa jadi itu lebih mengganggu ketimbang unit punk mana pun di scene mereka saat itu. Barangkali masa depan yang terbayang di kepala mereka memang sebusuk itu. Debut pertunjukan Cabaret Voltaire pada 1975 di acara disko rutin akhir pekan di kampus Sheffield University berakhir ricuh, seperti yang bisa dibaca di buku Paul Morley, Joy Division: Piece by Piece (2008), ketika para Dadaists itu tampil di atas panggung menantang penonton: Watson membawakan tape-loop berisi rekaman bunyi-bunyian steam-hammer di pabrik sebagai perkusi, sementara Kirk memainkan klarinet yang dibungkus kain bercahaya kelap-kelip. Saya bisa membayangkan betapa menjengkelkan dan menakjubkannya situasi waktu itu. Penonton yang mabuk dan marah merasa terganggu, naik ke panggung untuk memukuli mereka. Watson bahkan sampai terjatuh dari panggung dengan punggung patah dan musti dilarikan ke rumah sakit. Kirk melempar gitar rakitannya ke arah penonton, dan mereka bisa selamat dari amukan massa lebih lanjut hanya karena beberapa orang di venue ada yang kenal mereka. Saudara tua Cabaret Voltaire di Amerika, Suicide, kerap mengalami hal kurang lebih sama, malah di hampir setiap pertunjukan. Bedanya, Alan Vega sering membawa rantai sepeda motor untuk diayun-ayunkan di atas panggung, melindungi dirinya dari serangan penonton. Suicide memang lebih brutal, buas dan tanpa tedheng aling-aling, sonically maupun secara attitude, sementara Cabaret Voltaire selalu terombang-ambing di antara yang pop dan yang avant-garde. Dalam satu wawancara, Mallinder pernah mengatakan kalau seandainya mereka mengambil jalan ala Glass/Stockhausen, itu justru akan membuat musik mereka terdengar sangat pretensius. “The thing is, we’ve grown up on Tamla, ska, James Brown, pop music, you name it, and really all that is the basis of what we do though we try and break it up a lot.” Seperti halnya Throbbing Gristle atau This Heat, musik Cabaret Voltaire adalah hit-or-miss. Teknik cut-up di musik Cabaret Voltaire terilhami dari tulisan-tulisan William S. Burroughs dan Brion Gysin, termasuk ketertarikan mereka pada tema-tema birahi dan kekerasan. Benang merah album The Voice of America menurut Chris Watson adalah “a control used as a weapon”, sesuatu yang dia amati sedang terjadi di Amerika dan Inggris. Sebetulnya itu juga terjadi di belahan timur ketika itu, seperti di Thailand yang menghasilkan kelompok musik folk-rock Caravan di pertengahan dekade 1970an, dan tentunya satu negeri yang dibicarakan secara bersayap di lirik-lirik puitis Eloi!, terutama track “Praduga Terhadap Paduka” di mana rasa getir sudah sangat susah ditutupi di situ, “Dengarlah seribu tangis bayi kudusmu/ Mampukah dirimu kelak menerima ungkapan dendamnya?” Sebagaimana Joy Division yang sering bermain satu panggung dengan mereka, Cabaret Voltaire juga sangat terpengaruh tulisan-tulisan J.G. Ballard, sang suhu cyberpunk yang paling suhu. Kita tahu Ian Curtis dkk bahkan menamai salah satu lagu mereka yang paling mencekam (“…see mass murder on a scale you’ve never seen…”) dari judul buku Ballard. Pada pertengahan dekade ’80an, ketika musik Cabaret Voltaire makin condong ke arah dance music, seseorang menyebut mereka “sold out to disco”, yang langsung disanggah Mallinder, bahwa yang terjadi justru sebaliknya, “I think disco sold out to us. I think disco started using things that we do. […] I don’t think we moved to disco. I think disco moved to us.” Tahun 1987, J.G. Ballard meramalkan betapa nanti di masa depan, setiap rumah akan berubah jadi studio televisi, “We’ll all be simultaneously actor, director and screenwriter in our own soap opera. People will start screening themselves. They will become their own TV programmes.” Hari-hari ini, dengan smartphones di genggaman masing-masing, kita dipaksa menyaksikan semesta socmed yang makin sesak dengan drama-drama tubir di setiap tikungan timeline yang tak ada habisnya, baik yang secara terang-terangan maupun mereka yang hobi sindir-sindiran via no mention. Ketika film-film ‘kehidupan’ berskenario buruk terus menerus diunggah ke TikTok, dan para selebgram bangun tiap hari dengan pertanyaan pertama di kepala mereka mau bikin konten Reels apa hari ini, agaknya ramalan tadi sudah menjadi kenyataan. Semua orang akhirnya masup tipi. Setidaknya di IG TV.

RIP Richard H. Kirk (1956-2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *