“Please atuh euy, kita mah beda sama yang tadi itu…” Kira-kira semacam itulah kalimat yang dia ingat meluncur dari mulut Rekti Yoewono, yang tampak kesal di atas panggung. Frontman The S.I.G.I.T. itu baru saja menghentikan permainan musiknya lantaran massa terlalu brutal, terutama cowok-cowok abege yang berdesak-desakan di bibir panggung utama Pasar Seni ITB 2006. Entah dari SMP/MTs/SMA/SMK mana saja gerombolan remaja tanggung itu berdatangan, tapi yang jelas gejolak akil baligh mereka baru saja dibakar aksi panas menjurus seronok dari penampil sebelumnya: duo dangdut Kembar Srikandi. Dia sulit menghayati lagu-lagu dari duet maut itu, karena rasa-rasanya malam itu belahan sentosa lebih banyak bekerja menguasai panggung seolah menggulung fakta keras bahwa sebenarnya hari itu, 10 September 2006, di panggung yang sama juga telah tampil macan-macan indie seperti LAIN, Sore, Tika. Panggung sebelah juga tak kalah menarik, sebelumnya ada Space System, Goodnight Electric, atraksi yoyo Oke Rosgana anak SR ’95 asal Subang, dsb. Ingatan dan kesadarannya terlalu berkabut saat itu, sehingga nyaris semua line-up menarik hari itu seperti terlewat begitu saja. Setelah Rekti sedikit mengancam pertunjukan tak bakal dilanjutkan sebelum penonton mau lebih tertib, akhirnya The S.I.G.I.T. kembali beraksi. Sebetulnya malam itu cukup seru. Di atraksi penuh keringat dan telinga berdenging itu mereka tampil maksimal dengan kostum putih-putih, lengkap dengan bretel suspender dan topi bulat, persis gerombolan droogs Melayu hanya sedikit lebih kikuk. Sebelum mengamuk membantai penonton, Rekti deLarge menyeringai terlebih dulu, lalu menenggak segelas susu di atas panggung. Di antara kerumunan penonton, dia terkekeh-kekeh sendirian melihat kelakuan Rekti, sambil tidak yakin atraksi homage A Clockwork Orange itu dimengerti banyak orang. Bahkan penonton di sebelahnya, seorang anak laki-laki belasan tahun yang bisa jadi belum mengerjakan PR Matematika untuk besok paginya, malah tergelak melihat aksi itu lalu meneriakkan anekdot jorok ke temannya. Tersenyum kecut, dia langsung membayangkan dirinya tersudut di satu panel komik Donal Bebek dengan balon kata bertuliskan *KELUH*. Dia pulang dengan kaos basah kuyub dan kepala pening, mengumpat-umpat mencari di mana motor pinjaman tadi diparkir, lalu teringat masih ada beberapa utang naskah lawak yang belum dia setor. Dia tidak sedang ingin melucu malam itu, tapi hidup seringkali bukan persoalan ingin atau tidak ingin. Ketika merogoh kunci motor bebek dari saku jaketnya, brosur acara yang berisi jadwal penampil hari itu ikut mencelat keluar. Dia hampir membuangnya, tapi entah kenapa dia simpan kembali di saku celana. Siapa tahu kelak aku butuh menghibur diri dengan mengenang hari ini, setidaknya aku ada bahan. Mengambil helm, dia baru sadar pelindung kepala pinjaman itu tampak konyol dengan gambar Mr. T nyengir mengacungkan jempol dengan jari penuh akik. Mau tak mau dia ikutan nyengir, lalu bersumpah jika honornya sudah cair semua dan suatu hari nanti tabungannya sudah cukup, dia bakal kabur ke Timbuktu dan tak perlu lagi harus melucu. Dia menstarter motor, menyalakan lampu sein, melirik kaca spion. Sekilas dilihatnya pantulan raut letih Donal Bebek di situ, memakai helm tolol. Bangsat, ini bebek naik bebek namanya. *KELUH*
Video dokumentasi Pasar Seni ITB 2016 yang diedit oleh Ponti Ramanta.
* * *
P.S.
Di Pasar Seni ITB sebelumnya, tahun 2000, ada Geger Band tampil di salah satu panggungnya. Saya sudah membongkar kamar lama saya dan tetap gagal menemukan satupun artefak dari masa-masa awal milenium baru itu. Tapi saya ingat gigi seri saya patah beberapa hari sebelumnya, dalam sebuah fight club masa muda yang konyol di area parkir. Juga ada cikal bakal Melancholic Bitch, masih bernama On Genealogy of Melancholia, mengiringi salah satu performance art di situ. Pasar Seni ITB 2010, ditutup dengan penampilan Zeke Khaseli di panggung utama, saya hadiri lebih karena ada reuni Project P di salah satu panggung di sekitar Labtek kembar, dekat kolam Indonesia Tenggelam. Saya melewatkan Pasar Seni ITB 2014.