Seperti biasa, teks pendek yang awalnya cuma dimaksudkan sebagai caption untuk unggahan foto kaset ini ke socmed malah mblèbèr ke mana-mana dan pastinya semua berbau-bau nostalgia, atau ‘nostalgila’ kalau meminjam istilah oom-oom boring di acara-acara reunian kampus. Kaset If I were a Carpenter keluar tahun 1994 ketika saya kelas 3 SMP, dan seperti hampir semua cowok satu angkatan waktu itu saya pun sedang terkena “demam Speed”, alias ujug-ujug mencukur cepak ala Keanu Reeves di film itu, dengan paras muka jauh lebih ndeso tentunya. Namun membeli kaset ini setidaknya bikin saya merasa nggak ndeso-ndeso amat, karena di saat teman-teman masih sibuk membicarakan album Nirvana MTV Unplugged yang memang sedang ngetop-ngetopnya, lewat kompilasi ini saya merasa beberapa langkah lebih maju (preettt) karena sudah mendengarkan Shonen Knife, band Jepang favorit mendiang Kurt Cobain, membawakan favorit Kurdt lainnya, semacam guilty pleasure dia: Carpenters. Shonen Knife membawakan “Top of the World” dengan logat lucu yang sering saya temukan di band-band indie Jakarta-Bandung di acara “a tribute to” band-band idola mereka. Interpretasi Sonic Youth atas lagu “Superstar” seru juga, gula-gula pop konvensional Amerika di lagu itu malah mereka buang jauh-jauh, diganti dengan sound khas mereka—spirit ini mirip band-band kiwi rock New Zealand saat mengcover ABBA setahun kemudian—tapi Richard Carpenter sendiri mengaku tak menyukai tafsiran itu! Ada-ada aja. Dari kaset inilah saya pertama kali mendapati nama band yang saat itu ditulis dengan huruf kecil semua di kertas sleeve: the cranberries. Di track 3 side A mereka membikin nomor klasik Carpenters “(They Long to be) Close to You” lebih syahdu lagi dengan mengubah sedikit tempo/beat-nya, menghilangkan bagian terompet di tengah-tengah durasi yang jadi ciri khas repertoir Burt Bacharach, dan segala potensi centil dari aransemen Carpenter Bersaudara bukannya dirayakan malah mereka redam (!) dengan lebih menonjolkan bassline, dan ya, tentunya timbre unik vokalisnya. Ketika itu saya masih belum kenal siapa mereka, tapi begitu videoklip “Zombie” muncul di televisi saat jeda sekian menit sebelum Dunia dalam Berita dimulai, saya langsung “Lho ini kan si band yang dulu itu!” Sampai hari ini, tiap kali melihat aksi-aksi pantomim mengecat tubuh dengan warna keperakan sehingga mirip patung-patung logam beraksi di jalanan Bandung seperti Dago atau Cihampelas, saya selalu teringat orang-orang di videoklip 24 tahun lalu (bikinan sutradara yang juga menggarap videoklip Nirvana “Smells Like Teen Spirit” dan “No Rain”-nya Blind Melon), mulut saya otomatis menggumamkan kalimat “…in your head/ in your head/ they’re still fighting…” Setelah menyimak keseluruhan side A dan side B, ternyata saya nggak terlalu suka tone keseluruhan dari dua album pertama itu. Baru ketika 1996, saya kelas 2 SMA, album ketiga mereka keluar dan single “Salvation” diputar di radio SAS FM Solo. Dari aksi kebut-kebutan trumpet dan saksofon di penghujung durasi saya langsung tahu saya bakal suka album ini. Nuansa lagu-lagu di sekujur album To the Faithful Departed (puitis banget frase ini) terasa lebih keras dan geram, lebih kelam ketimbang karya-karya mereka sebelumnya. Para kritikus tidak terlalu menyukainya, saya ingat saya sempat manyun baca-baca review di warnet, tapi peduli setan, “Forever Yellow Skies” lagu terbaik mereka! Semerbak post-punk di drums yang menderu-deru, juga cengkok vokal yang Siouxsiesque itu, astaga. Kini Dolores O’Riordan dan Karen Carpenter bisa berduet kapan aja di Atas Sana kalau mereka mau. They’re now closer to You.
*
the cranberries – “(They Long to be) Close to You” (Carpenters cover), 1994
The Cranberries – “Forever Yellow Skies”, 1996
____
Tulisan terkait: Mengenang 1994, Bag. 1