Tiap kali mengenang Lou Reed, si pionir méngslé-rock yang meninggal hari ini empat tahun silam, saya teringat Lou Ferrigno, si binaragawan lawas pemeran monster hijau pemarah di serial televisi The Incredible Hulk, dulu pernah tayang di era awal RCTI. Selain sama-sama bernama Lou, menurut saya wajah mereka ada kemiripan. “Mungkin mereka bersaudara?” Saya bertanya polos ke kakak saya puluhan tahun silam, di sela-sela kami makan mie ayam di dekat pos ronda, dan tentu tidak dijawab. Kakak saya lebih suka dunia sports dan menguasai berbagai cabang olahraga kampung mulai dari bal-balan, pingpong, voli, sampai badminton; dia pasti lebih familiar dengan Lou Ferrigno si binaragawan dan tidak ambil pusing dengan siapa itu Lou Reed yang ditanyakan adiknya, si cungkring anak SD yang kadang dia ledek sebagai binarangkawan. Saya pertama kali mengenal nama Lou Reed dari satu artikel di majalah lokal edisi pertengahan dekade ‘70an, saya lupa majalah apa, mungkin Top atau Selecta, yang saya baca di akhir dekade ‘80an di lapak buku bekas. Saya ingat saya sama sekali tidak paham isi tulisan itu, meski ada ketakjuban di tiap paragrafnya terutama frase “Velvet Underground” yang bagi saya saat itu terbaca syahdu sekali untuk sebuah nama band. Beludru bawah tanah, amboi indahnya, pikir saya waktu itu yang belum paham struktur Menerangkan-Diterangkan di bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah artikel itu asal comot saja dari majalah musik luar negeri lalu diterjemahkan secara ogah-ogahan ke bahasa Indonesia, yang jelas ketika kemudian saya menanyakan nama tersebut ke satu-satunya toko kaset di kampung saya, di sebelah kios beras di terminal angkot dekat pasar, Tacik’e hanya mengernyitkan dahi. Seperti banyak orang di Indonesia di era akhir ‘80an awal ‘90an yang mendengarkan Morrissey terlebih dahulu sebelum The Smiths dan lebih terpapar New Order ketimbang Joy Division, saya juga menemukan kaset-kaset Lou Reed lebih dulu ketimbang rilisan-rilisan The Velvet Underground. Album solo keenam Reed misalnya, Coney Island Baby (1976), muncul kasetnya di katalog Mona Lisa, label bootleg rumahan asal Bandung di penghujung ‘70an. Album ini juga sempat muncul di katalog Apple, label bootleg legendaris lainnya, ‘sempalan’ dari label Yess. Tentu tidak pernah terlalu jelas apa sebetulnya pertimbangan oom-oom label dari era pra-lisensi itu menyeleksi album-album luar untuk dirilis di katalog mereka, tapi jika alasannya Coney Island Baby itu album termudah dan paling radio-friendly dari Reed, rasanya cuma kebetulan belaka. Album itu lucunya justru keluar tepat setelah album instrumental Metal Machine Music (1975) yang kelewat berani dan nyaris tak bisa didengarkan. Lagu “Coney Island Baby” di kuping saya adalah lagu paling merdu yang pernah ditulis Reed, yang liriknya malah paling sedih. Di situ dia bernyanyi tentang larut malam yang sunyi saat mendapati hidupnya berbeda dari kebanyakan orang, dan apakah dia sedang menghibur dirinya di kalimat “different people have peculiar tastes/ and the glory of love, the glory of love”? Puluhan tahun berselang, saya beruntung mendapatkan piringan hitam Metal Machine Music cetakan pertama dengan harga miring dari toko musik yang kemudian bangkrut di Medan, dan sebagaimana semua orang yang pernah membelinya, saya juga tidak kuat memutarnya sampai selesai. Plat double album ini dipenuhi distorsi, bunyi-bunyian noise dan feedback selama satu jam lebih, yang menurut saya masih tetap terlalu mengganggu untuk didengarkan saat ini atau malah sampai kiamat nanti. Rasanya seperti mendapati seseorang berusaha keras mengajari mesin cuci untuk bisa bernyanyi. Saya ingat majalah Aktuil pernah memuat ulasan pendek tentang Metal Machine Music, hanya terpaut dua bulan setelah album itu dirilis pada Juli 1975, yakni di edisi yang terbit awal September 1975. Lagi-lagi saya tidak tahu apakah kolom singkat itu cuma terjemahan asal-asalan dari majalah luar atau bukan, yang jelas ada kata-kata bernada pujian di situ seperti “hasil yang memuaskan”, “musik-musik yang lebih energik”, bahkan ada kalimat ajakan “cepat miliki saja album ini”! Album-album The Velvet Underground dalam hidup saya baru datang belakangan, tapi langsung duduk di bangku paling depan untuk waktu cukup lama. Dari katalog lengkap mereka itu saya hanya pernah merelakan satu piringan hitam pergi dari koleksi saya, itu pun bukan dijual begitu saja demi rupiah melainkan untuk dibarter dengan arloji tua incaran di toko antik. Kebetulan itu album mereka yang secara mutu paling mungkin saya tinggalkan, yakni album ketiga; yang sebenarnya bagus-bagus saja tapi terlalu lembek untuk bayangan saya atas The Velvet Underground yang liar tak terkendali; satu dari sedikit musisi di muka bumi yang mampu menggabungkan pelet sastrawi dan bunyi-bunyian rock dengan cara sangat berbeda dari yang pernah dilakukan oleh The Doors misalnya, atau bahkan Bob Dylan. Paling favorit saya jelas album kedua mereka, White Light/White Heat, yang sampulnya hitam pekat tapi dijuduli dengan dua kata ‘putih’, di mana Reed membayangkan seperti apa rock ‘n roll kalau dimainkan dengan improvisasi free jazz ala Ornette Coleman, peniup saksofon favorit Lou. Hasilnya adalah kebisingan-kebisingan indah (tentu mereka sendiri menyebutnya “anti-beauty”) yang gelap dan sensual, seperti “Lady Godiva’s Operation”, “Here She Comes Now”, dan “I Heard Her Call My Name”, dan tentu saja “Sister Ray”, yang di format piringan hitamnya memakan setengah area sendiri di side B; sebuah jenis sound dan attitude yang kelak turut melahirkan beberapa subgenre paling menarik di sejarah musik dekade-dekade setelahnya, seperti punk ‘70an, indie rock ‘80an, hingga alternative rock ‘90an. Kontribusi besar John Cale di situ, mulai dari bermain bass, biola listrik, organ dan piano, hingga spoken words (konon dia hanya mau bermain kalau semua kenop pengeras suara sudah dipastikan terkunci di volume maksimal) membuktikan bahwa untuk menghancurkan sesuatu demi menghasilkan kebaruan, dua orang sinting lebih baik daripada hanya satu orang sinting. Bukan kebetulan jika band-band favorit saya dari generasi berikutnya ternyata pernah membawakan cover version lagu-lagu tersebut, mulai dari Joy Division sampai Nirvana, dari Cabaret Voltaire hingga Galaxie 500 (salah satu penghayat terbesarnya), bahkan duo Suicide. Ini bahkan kita belum membahas “White Light/White Heat” di track pembuka (“white light, don’t you know/it fills me up with surprise”), atau “The Gift”, kisah penusukan yang disampaikan justru dengan cara paling lempeng. Saya menikmati kontradiksi semacam itu, kelokan-kelokan tajam di saat dunia semakin susah ditebak dan hidup sering kali mengecewakan, tak ada ruginya mendapati satu lagi kejutan segar. Suatu hari di tahun 2014, di Twitter saya mendapati anekdot paling otentik yang pernah saya dengar dari scene musik lokal beberapa tahun terakhir ini, “Dua karakter di lagu “The Gift” Velvet Underground bernama Sheila dan Marsha. Curiga Mr. Eugene Timothy adalah fans Lou Reed!” Saya tertawa keras sekali sampai seisi perpustakaan tempat saya bekerja menoleh semua. Eugene Timothy adalah bos Remaco, salah satu pemain utama di industri rekaman musik negeri ini era 1970an, ayah dari produser film Sheila Timothy dan aktris Marsha Timothy. Ketika malam harinya saya mendapati Marsha Timothy sudah me-retweet cuitan itu sambil me-mention Sheila Timothy, saya ngakak lebih keras lagi. Hidup ini kadang kocak juga. Hulk boleh ikut tertawa kalau dia mau.
___