Kumis tipis Little Richard, yang ketipisannya betul-betul niat dan tampak terawat, selalu mengingatkan saya pada almarhum Timbul Suhardi, alias Heru Sutimbul, pelawak favorit saya. Ada masa-masa ketika Timbul tampil di panggung Ketoprak Humor RCTI dengan memakai kumis tipis buatan alias dipulas, yang separuhnya digambar di permukaan bibir (!) atasnya. Trik sederhana itu ternyata lumayan juga efeknya, bikin proporsi brengos Timbul jadi rada méngslé, letaknya agak terlalu ke bawah dan karenanya malah jadi khas. Hampir semua bintang nyanyi dan akting dari zaman dulu seperti Sam Saimun, Bing Slamet, P. Ramlee, Clark Gable, Bambang Hermanto, Muni Cader, siapa lagi coba sebutkan, memang pernah (atau masih) berkumis. Bahkan Benyamin S. ketika baru mulai karir bernyanyinya lewat piringan hitam Mesra Records 7-inch, Kunanti Saat Jang Kan Tiba bersama Rossy dan Djoko S., juga sudah berkumis meskipun masih tipis. Yang membedakan Little Richard (natural) dan Heru Sutimbul (artifisial) dari kebanyakan pria berkumis lainnya di gemerlap dunia hiburan adalah: di paras mereka berdua ini terbentang jarak vertikal cukup signifikan antara garis lintang terbawah hidung dengan garis lintang teratas kumis. Di salah satu foto masa muda Little Richard (masih hitam putih) kurang begitu jelas tergambar area-rada-kejauhan itu, tetapi kalau kita periksa foto-foto lain yang ada banyak di internet, terutama saat dia sudah lebih berumur (foto sudah berwarna), jarak terbentang luas itu bakal terlihat lebih nyata adanya. Sementara Timbul dengan kumis-tipis-separo-lambe itu, menurut saya, berhasil keluar dari jebakan klise kumis-kumis bujursangkar à la Chaplin yang dipakai hampir semua personel Srimulat di awal karier mereka. Timbul sendiri pun pernah berkumis kotak, seperti halnya Asmuni (kumis ijuknya bahkan dipertahankan sampai tua), Gogon (ini juga sampai tua, malah di kala mudanya dia dijuluki “Margono si Charlie Chaplin Srimulat”), Betet, Nurbuat, Basuki, Tarsan, Triman, Kadir, juga Pak Bendot di masa mudanya. AKAN TETAPI… kalau dipikir-pikir lagi, Little Richard ini dari segi tampilan dan terlebih lagi segala tindak tanduknya, andai terlahir berbahasa Jawa, rasa-rasanya kok bisa banget dia bergabung jadi anggota Srimulat. Rambutnya pernah setipe Kadir muda atau Mamiek paruh baya, attitude-nya seperti kombinasi Gepeng dan Bambang Gentolet (dua karakter ini memang berlainan, tetapi justru itu), dan bagaimana kalau androgynous look dia dipadu-padan bareng Tessy? Jika di malam Aneka Ria Srimulat tiba-tiba Little Richard ingin bernyanyi “By the Light of the Silvery Padhang Mbulan” (waduh, maksa nih plesetan judulnya) atau lagu-lagu dia lainnya yang seringkali memang gebyar saksofon, tentu yang bermain sax haruslah Teguh. Pakbos Srimulat itu memang dikenal piawai membunyikan alat musik tiup tersebut. Teguh Srimulat dulu berguru langsung ke sahabatnya, Maryono, pemain klarinet di korps musik Angkatan Laut di Surabaya, yang kelak bermain saksofon dan flute di proyek legendaris Tony Scott and the Indonesian All Stars, di mana aksi solo tenor sax Maryono untuk lagu “Ilir-Ilir” di piringan hitam Djanger Bali (1967) itu sungguh dahsyat. Lagu “By the Light of the Silvery Moon” adalah lagu pertama Little Richard yang saya kenal, dari kaset bootleg ’80-an rilisan Perina berjudul Rock ‘N Roll: Original Soundtrack Music from the Film. Lagu tersebut juga ada di satu kaset lain yang saya sudah lupa judulnya, berisi kompilasi Little Richard bersama Chuck Berry dan Bill Haley. Kemarin, 9 Mei 2020 waktu setempat, Little Richard the godfather of rock and roll itu telah berpulang. Paul McCartney, dkk. mengaku The Beatles belajar sangat banyak dari Little Richard di hari-hari Hamburg mereka sekitar 1962, salah satunya dengan membawakan lagu “Long Tall Sally”. Jimi Hendrix muda pernah bermain gitar di band Little Richard tahun 1965. Seorang remaja bernama Robert Zimmerman (kelak menjadi Bob Dylan), di buku kelulusan SMA-nya di tahun 1959, menuliskan “to join Little Richard” di kolom cita-cita. Kita pun tahu betapa khusyuk seorang Prince menghayati gaya tampilan dan falsafah bermusiknya. Semua raksasa di pohon silsilah rock dunia seperti berasal dari sosok Little Richard, tumbuh menjalar dan membesar dari akar dirinya, sesuatu yang menurut istilahnya sendiri di sebuah wawancara tahun 1972, “All of them came from me!” Di buku Uncommon People: The Rise and Fall of the Rock Stars (2017), David Hepworth menyebut Little Richard sebagai “the first true rock star”. Elvis Presley bahkan memasukkan cover version lagu Little Richard “Tutti Frutti” ke album perdananya. Saya jadi berkhayal, seandainya di alam berikutnya ada yang namanya konser Rock Suka-Suka Di Atas Sana, bukan hil yang mustahal tersedia slot manggung bagi Little Richard feat. Teguh Srimulat. Dan khusus di nomor “Lucille”, bolehlah panitia mengundang special guest star Kasino Warkop, terutama untuk mengisi reff, “Lusiii… Lu dicariin Engkong!/Lusiii… Babe lu ngembat lontong!/Lu nyang berbuat, gue nyang ditabok Engkong!” Obituari singkat ini mau saya tutup (“pungkas Budi” kalau bahasa media-media online lokal) dengan melempar kuis ngabuburit berhadiah kolak pisang ke sidang pembaca yang budiman, “Di film Warkop DKI yang mana lagu Little Richard “Lucille” tadi diplesetkan?”
Sampun kapundhut rumiyin, Ki Alit Ricet (1932-2020)
Leave a reply