Surat untuk Sdr. Harlan


Nomor: BINFOLK.01/06/01/2017
Perihal: Permohonan Stok Tebu

Bandung, Jumat Legi 6 Januari 2017

Bung Harlan di Tebet,

Bersama surat ini hendak saya kabarkan, selain bahwa saya dalam keadaan sehat walafiat (semoga Bung dan keluarga pun demikian adanya), sejujurnya mendengarkan lagu-lagu Bung kerap membuat saya tercenung. Bahkan bersedih. In a good way, saya rasa. Kenapa bisa begitu, saya sendiri kurang tahu. Manusia sering bermuram durja tanpa alasan jelas, layu bagai tanaman pot lupa disiram, tapi khusus untuk kasus Bung ini saya harus mengaku saya pernah coba mencari tahu sebab musababnya. Boleh jadi segala rasa nglangut itu (bhs. Jawa: “terhanyut intens, dirundung senyap, teramat murung”) muncul dari nada-nada sendu yang melintas tanpa permisi, nyelonong begitu saja dari gitar kopong yang seperti Bung mainkan secara serampangan padahal saya yakin tidak, dan dari situlah lalu terbit rasa haru. Contoh: di lagu “Sakit Generik”, nomor pembuka dari debut EP Bung, mendung itu datang pagi-pagi bahkan sejak intro dimulai. Lagu minimalis yang Bung siasati lewat pembukaan vokal lirih dan rapuh, seperti gumam doa keluar rumah sebelum berangkat kerja, lalu ada lolongan penyanyi tamu Stephanie Eka yang bersahut-sahutan seperti hantu. Bung dan rekan tampak khusyuk merapal mantra “lawan terus sakitmu/ hingga kebal di kota Jakarta“, sebelum tiba-tiba ada suara terompet itu, merangsek pelan, menari-nari seperti setan yang tak diundang ke pesta perpisahan. Itu 30 detik yang amat mendebarkan, juga pemilihan sound yang betul-betul kampret—jika terompet adalah sejenis bedil, maka kawan kita Sdr. Asung jelas tipe pembunuh bayaran berdarah dingin dengan senapan berperedam. Tak ada yang lebih pedih ketimbang menyadari bahwa semuanya sudah terlambat, bahwa peluru telah melubangi jantung kita; bahwa kewarasan telah pergi meninggalkan kita. Dan apa pula sebenarnya arti teka-teki “rumah hanya teman/ yang meninggal“? Segala rasa murung dan bertanya-tanya yang menyelinap dari lagu ini mengingatkan saya pada momen-momen suram yang sebisa mungkin tidak usah terulang lagi, seperti menghabiskan makan malam yang terlambat, hambar dan sendirian di restoran tua yang hampir tutup; atau menatap nanar layar televisi 14” yang suaranya dikecilkan di ruang tunggu kamar operasi ketika sanak famili kita sedang berunding dengan maut. Itu jenis kemurungan yang nyaris tak tertanggungkan, dan kita harus tetap tegar melangkah ke kasir restoran, senyum basa-basi saat membayar dan mengangguk sopan sebelum pulang; atau bersiap-siap menunggu pintu kamar operasi terbuka pelan, hanya untuk mendapati dokter bedah menggeleng lesu, mengangkat bahu, menghela nafas.

Itu bahkan baru lagu pertama. Di nomor-nomor lainnya, saya mendapati kemurungan yang kurang lebih sama, hadir sayup-sayup lewat instrumen tambahan yang dimainkan secukupnya, untuk tidak menyebutnya serba sedikit. Tapi itu malah efektif. Pianika yang ditiup sesekali, juga organ dan keyboard yang seluruhnya Bung mainkan sendiri, cuma tampil selewat-selewat, tapi selalu mendarat di titik yang tepat, sebagaimana terompet Sdr. Paloh di “Air Mata Atari” yang hanya dikasih slot bahkan kurang dari limabelas detik. Glockenspiel dan tamborin adalah dua elemen paling klise dalam komposisi indie pop dan terkadang malah jadi menjengkelkan, tapi di tangan Bung dua instrumen centil itu menjadi dingin, jika bukan malah terdengar masygul. Di lagu “Sentuhan Minimal”, meski mengundang seorang legenda hidup dari kancah indie lokal, Bung tidak membagi bait-bait lirik dengannya, melainkan bernyanyi bersama-sama dari mula hingga ujung, menghasilkan efek mirip gaung di terowongan panjang yang lengang. Bunyi tamborin yang terdengar gamang di situ jauh lebih keren dari semua tamborin yang pernah dimainkan Ian Brown. John Cale sengaja menukar dawai biolanya dengan senar gitar dan mandolin agar suara gesekannya terdengar bising seperti deru mesin pesawat, dan anehnya aura sepi tetap kental menyeruak di lagu-lagu awal The Velvet Underground; sementara biola Purusha Irma justru sebaliknya, di beberapa nomor ia mengalun efisien apa adanya, nyaris tak terbaca di antara nada-nada gitar tunggal yang Bung mainkan. Ajaib rasanya, bagaimana mungkin dua biola yang diperlakukan dengan sangat berbeda memunculkan efek senyap yang kurang lebih sama. Lebih jauh lagi, saya membayangkan andil Stephanie Eka sebagai penyanyi tamu tetap di sini punya kemiripan dengan keberadaan Nico yang dipilih Warhol, bukan secara timbre tentunya, melainkan lebih pada konsep, sebuah keputusan berani yang hanya bisa muncul dari benak seorang perenung. Dan sebagaimana Lou Reed Melayu, Bung berhasil jadi bunglon dengan sama lenturnya, melompat-lompat di rentang luas dalam katalog sependek itu: racauan di “Jajan Rock” dan “Dandan”, teriakan “onta main/ sama anjing!“, coba-coba harmonisasi vokal di “David Tarigan” dan “Permisi”, bermanis-ria di “Mobil Bikin Ribut” sebelum pulang untuk “Yoga Bersama Keluarga”, spoken-words di “Skenario Ambisi” yang dikepung beat-beat elektronik. Didengar-dengarkan lagi semuanya, kenapa selalu ada riang, meski “Lalu Ada Sedih”? Apakah sesungguhnya kredo artistik Bung adalah sendu + riang = sendu?

Saya tidak yakin Bung membaca esai-esai Susan Sontag, tapi kegundahan samar-samar di lagu-lagu Bung seperti mengiyakan satu kalimat di situ, “Depression is melancholy without its charm.” Murung itu sungguh indah, demikian kawan kita Sdr. Cholil dari Pondok Cabe, tapi gundah yang di-gas pol zonder rem juga berpotensi melenyapkan pesona ganjil dari melankolia itu sendiri. Sisanya hanya ampas-ampas kecut yang mungkin bikin orang lain mual, rolling their eyes sebelum ngeloyor pergi. Posisi Bung rasanya jelas: alih-alih berkubang di kolam depresi, lagu-lagu Bung malah bersahaja dalam kemuraman (“di mana hiburan/ lampu-lampu padam“), karena di saat bersamaan ada ceria-ceria sederhana ikut pula dirayakan (“aku menginginkan Atari/ di rumahku“, atau “makan es krim/ berdua denganmu“), khas masa kanak yang masih bersih dari dosa. Jika depresi sering digambarkan lewat pekatnya gelap sementara kegembiraan adalah secercah pendar terang, mungkin melankolia berada canggung di tengah-tengahnya; persis seperti Bung yang berdiri kikuk di wilayah abu-abu yang membingungkan sekaligus melenakan. Rasanya tak ada yang lebih tepat menggambarkan ciri khas Bung ini selain kawan kita Sdr. Taufiq dari Tangerang, di salah satu tulisan lamanya soal C’mon Lennon, bahwa vokal Bung berada “di ambang antara melankoli dan keriangan kecil tanpa pernah memutuskan mana yang harus dia pilih.”

Bung Harlan yang budiman. Banyak orang percaya bahwa ada kebangkitan musik folk di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Ini sungguh optimistis, dan karenanya malah jadi mengharukan. Beberapa merujuk pada terulangnya kejayaan paruh kedua dekade 1970an sampai awal 1980an, ketika musik folk merebak di Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, terutama bermula dari kampus-kampus ternama, bagaikan jamur tumbuh di musim penghujan. Klaim kebangkitan itu adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baiknya, kita jadi ada banyak pilihan. (Seperti di “Kopi Kaleng”, yakni “…di mana pilihan?/ kami mencarinya…“) Kabar buruknya, tak ada peningkatan signifikan, boro-boro kebaruan, dalam hal kualitas. Jamur-jamur memang tumbuh, meski cenderung mengecewakan. Ini kenyataan yang apes. Beberapa nama yang sempat diharapkan bisa menjadi juru bicara gelombang baru folk revivalists ternyata tak lebih dari sekadar pop akustik yang sibuk mengejar merdu atau berusaha lucu, tanpa menghiraukan kedalaman. Musik mereka nyaris tak menyuarakan komentar sosial apapun mengenai apa yang terjadi di sekitar mereka, karena semua hanya sibuk “pulang”, meski kita tak pernah mendapat gambaran jelas juga soal “pergi”-macam-apa mereka sebelumnya? Lirik-liriknya kebanyakan tak lebih dari gombal belaka, mirip kumpulan sajak-sajak kelas dua. Kita tahu tak ada gunanya mencoba jadi epigon Remy Sylado atau Gombloh atau Leo Kristi (percuma, takkan ada yang bisa, bahkan kalaupun bisa, buat apa?) yang memang kelewat lantang dan nyentrik bahkan untuk ukuran masa kini, tapi bukankah dulu pernah ada juga Mogi Darusman dan Iwan Abdulrachman? Saya tahu bahkan Bung sendiri enggan dianggap sebagai musisi folk, mirip Kurt Cobain yang menolak Nirvana disebut grunge, dan tak ada hipster yang sudi mengakui dirinya hipster. Tidak masalah. Sepenangkapan saya, ada sensibilitas pop yang manis di katalog “folk” Bung ini, hanya saja tipe manisnya bukan manis saccharin, bahkan bukan juga gula, melainkan tebu? Lebih substansial, lebih mendasar lagi. Kawan kita Sdr. Dimas dari Mampang Prapatan bahkan sempat mengusulkan istilah kocak untuk menamai musik Bung ini: “pop tebu”. Haha. Apa boleh buat, saya setuju.

Manis tebu yang apa adanya dan tak dibikin-bikin itu paling cemerlang di EP terakhir Bung. Tanpa harus terjebak mengglorifikasi tema pulang yang sudah kian overrated, Bung cuma butuh cerita-cerita kecil bahkan lewat suara fals di awal durasi, soal “Stabillo Boss berwarna hijau/ di meja kayu/ Di dekat tumpukan berkas kerjamu…” saat balik ke rumah malam-malam, sebelum biola brengsek itu kembali mengalun syahdu, meringkus kita dengan presisi mengagumkan serupa dokter anestesi terbaik yang pernah ada. Bagi saya “Tetap Baik di Dalam Hati” adalah lagu tentang rumah, tentang pulang, tentang pepatah usang home is where the heart is, tentang memilih growing old with you, tentang dilema maut dan cinta, dalam porsi terbaiknya. Barangkali saya keliru, tapi itu salah satu lagu paling romantis yang pernah saya dengar tentang belahan jiwa dan pasangan hidupnya. Pelupuk ini masih saja menghangat tiap kali tiba pada “berjalan bersama/ hingga mata menutup“, dan air mata selalu pecah di “esok di balik awan/ dan kita berseri.” Tempo hari, lewat aplikasi chat saya menanyakan kabar Bung dan keluarga di Tebet, dan Bung bercerita soal lampu kamar mandi sedang rusak belakangan ini, juga pagar depan sering keluar jalur bila angin bertiup kencang. Mata saya kembali menghangat. Saya percaya penyair sejati adalah seorang filsuf.

Hingga surat ini saya tulis, saya masih belum menyerah meyakinkan orang-orang di sekitar saya bahwa lagu-lagu Bung ini wajib dengar selama hayat masih dikandung badan, atau kita bakal masuk golongan yang merugi. Tercenung, bersedih atau merenung, saya kira tetap tak lebih mengenaskan ketimbang haha-hihi tanpa sebab dan tujuan, sementara kita tahu: ritme dunia makin absurd hari-hari ini, makin kencang tak terkendali, dan pemaknaan atas hal-hal mendasar sudah roboh di mana-mana. Oleh sebab itu, menyudahi surat ini, saya sampaikan kepada Bung, bahwa kami butuh lebih banyak lagi pasokan tebu bermutu tinggi, dan itu dari siapa lagi kalau bukan dari Sdr. Harlan. Mohon dipertimbangkan permintaan serius ini, agar kami selalu punya alasan untuk terus jajan rock, bertemu terang dan menginjak rumput, melangkah ke bukit dan terbenam lumpur. Saya harap kabar baik itu lekas datang, lagi-lagi mengutip lagu “Kopi Kaleng” kesukaan saya, tolong agar “dekatkanlah jarak/ pada bahagia.” Semoga itu tak lama lagi, sebelum kewarasan kami terpaksa mencari badut atau karaoke.

Terima kasih ya Bung, untuk semuanya.

Wassalam,
Budi W.

Tulisan ini dimuat di zine terbatas dalam paket kaset Harlan Binfolk (Nanaba Records, 2017).

CD_Harlan_4_EP

Binfolk_kaset_zine_Harlan
_

_

_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *