Sekali Lagi Mas Dolby

Membaca buku memoir Thomas Dolby, The Speed of Sound, membuat saya makin yakin: para scenester memang sudah semestinya menulis buku. Setidaknya untuk meneruskan ingatan-ingatan mereka atas apa yang mereka alami atau saksikan, atau yang mereka bikin, seremeh apa pun itu kedengarannya. Catatan-catatan semacam itu boleh jadi bakal asyik untuk dibaca khalayak, tentu jika ditulis dengan baik (sehingga editor yang kompeten juga diperlukan), dan barangkali akan sangat berharga bagi orang-orang yang lahir belakangan, yang tidak sempat mengalami satu masa tersebut tapi menggeluti minat yang kurang lebih sama di era selanjutnya. Kiprah Thomas Dolby memang luas di berbagai area dan rentang waktu, dan faktor itu bisa saja membuat kisah hidupnya seolah-olah lebih sahih untuk ditulis, tapi bukankah setiap hidup sama berharganya? Beberapa nama di skena musik di Indonesia saya amat-amati mulai kepikiran membagi ingatan mereka atas hal-hal menarik, biasanya ketika ada rekan seumuran yang meninggal dunia dan mereka harus menulis obituari dengan menggali memori-memori lama. Beberapa sudah mulai dengan memindahkan obrolan-obrolan guyub nostalgila à la tongkrongan menjadi format podcast (“Masih inget banget, dulu tuh bla bla bla…”) atau video-video wawancara di YouTube yang makin ke sini makin merebak, tapi alangkah indahnya jika semua itu juga terhimpun dalam bentuk teks utuh, menjadi buku-buku. Gambaran langsung dari tangan pertama soal seluk beluk sebuah kancah bakal jauh lebih menarik dan lebih akurat ketimbang, misalnya, dugaan-dugaan serampangan dari orang-orang yang mengaku penulis musik tapi argumennya sering ngawur tanpa landasan jelas sembari menganggap kasta tulisannya kelewat tinggi; termasuk mereka yang malas mengulik arsip lama, atau sebaliknya, sok-sokan membaca arsip (yang hari-hari ini terkesan sexy sekali) tapi keliru cara bacanya. Di masa mudanya, Thomas menyaksikan sendiri kemunculan gelombang punk di Inggris circa 1976-1977, termasuk menonton pertunjukan beberapa band punk Amerika yang tampil di Inggris, seperti Talking Heads dan Television (“At first I thought they were one band, not two…”, ha ha ha!). Salah satu keterangan di Wikipedia soal ban XTC-nya Andy Partridge dkk, “In 1977, the group debuted on Virgin Records and, for the next five years, was noted for their energetic live performances”, terkonfirmasi oleh kesaksian Thomas di buku ini, “They came on with this manic punk energy and played at a thousand miles an hour, but with actual chord sequences and interweaving riffs and melodies, and insane lyrics…” (halaman 15). Thomas Dolby nantinya menjadi bintang MTV lewat videoklip “She Blinded Me with Science” yang dia sutradarai sendiri, dan cerita-cerita behind the scene dari teriakan “Science!” yang ikonik itu seru juga untuk disimak. Rasanya memang cuma masalah waktu, lagu cult itu muncul di serial televisi macam The Big Bang Theory atau Breaking Bad. Gara-gara “one hit wonder” itu dia sempat beken di Jepang, dan kisah tournya bareng Spandau Ballet di situ bikin saya ketawa-ketiwi oleh satu kebetulan yang personal. Tony Hadley, si vokalis Spandau Ballet, kesal sepanjang tour lantaran para penggemar di Jepang mengerubuti dia untuk meminta tandatangan dan tidak sengaja spidol Magic Marker mereka mengotori jas putihnya yang mahal, yang dari jauh-jauh hari sudah dia siapkan khusus untuk tampil di Jepang, “Two grand it cost me. Two grand!” Sekitar pertengahan tahun 2000, saya pernah tergabung di kepanitiaan acara kampus yang mengundang Sherina, penyanyi cilik yang ketika itu baru saja melejit lewat film Petualangan Sherina. Di hari-H, ketika Sherina musti tampil bersama ensemble angklung Mang Udjo, kami mahasiswa-mahasiswa culun ini berebutan foto bareng dengannya di luar panggung. Salah satu panitia, kawan kami, rupanya lupa menutup spidol besar yang dia pegang, sehingga ketika semuanya heboh berdesak-desakan di depan kamera, tinta spidol itu meninggalkan bercak-bercak hitam di gaun mahal Sherina, rancangan Samuel Wattimena! Sama seperti Hadley, si bintang kecil pun langsung bete seharian. Huhu. Di sampul depan buku Thomas Dolby ini bisa kita lihat endorsement dari JJ Abrams, “…funny and surprising”, sementara komentar pendek Henry Rollins dikutip di sampul belakang, “Brilliant”. Soal funny itu saya setuju. Jarang ada buku biografi musisi atau orang-orang terkenal bikin saya ngakak segeli ini. Album debut Thomas Dolby cukup laris, dan di Indonesia sempat muncul kaset-kaset bootlegnya lewat seri label lokal Atlantic Records, yaitu album synth-pop The Golden Age of Wireless (1982) yang dystopian dan keren itu, juga album berikutnya, The Flat Earth (1984) oleh Team Record. Michael Jackson yang awalnya mengira Thomas Dolby musisi kulit hitam (ini jelas compliment yang luar biasa) sempat minta dibuatkan lagu, sayangnya batal dan akhirnya lagu itu dipakai sendiri oleh Thomas. Detil kisahnya kocak banget diceritakan di buku. Track “Hyperactive!” juga sempat muncul di kaset-kaset kompilasi punk rock/new wave di khazanah bootleg lokal Indonesia era pra-lisensi, seperti kaset Punk Rock ’84 terbitan label Pan Audio. Thomas kemudian terlibat di beberapa proyek kolaborasi menarique bareng nama-nama keren seperti Stevie Wonder, Jerry Garcia dan Bob Weir dari The Grateful Dead, dsb., dst. Bahkan Eddie Van Halen. Biasanya Eddie susah diajak kolab, karena kata Alex, “Last time we let him do that, he did a solo on that little fvcker Michael Jackson’s record. That was the only reason 1984 got stuck at #2.” Hahaha. Thomas juga diajak David Bowie mengiringi penampilannya di Live Aid 1985, di slot tepat setelah Queen! Bayangkan, musti tampil setelah Freddie Mercury! Di YouTube kita bisa lihat di lagu terakhir setlist mereka, “Heroes”, Bowie memperkenalkan para personel dari backing band-nya, dan si keyboardist disebut namanya paling bontot sebagai “the very brilliant Thomas Dolby!” Diceritakan pula di buku, Thomas memproduseri album kedua Prefab Sprout, Steve McQueen (1985) yang cukup sukses, dan kelak juga album kelima mereka, Jordan: The Comeback (1990). Saya sih tetap lebih suka debut album Swoon, hehe sorry Tom. Ketika album-album solonya sendiri mulai kandas di chart dan lika-liku industri musik pop kian menggerus semangatnya, Thomas Dolby memutuskan banting setir ke dunia teknologi, lalu menjadi “an internet pioneer in Silicon Valley in the early 90s”. Di situ dia kembangkan ringtone synthesiser untuk teknologi ponsel. (Kata ‘synthesiser’ di sampul belakang buku dieja pakai ‘s’, tapi di dalam buku juga dipakai ejaan ‘synthesizer’. Thomas memang orang Inggris yang terbiasa ulang-alik Inggris-Amerika sepanjang karirnya sebelum kemudian menikah dengan aktris Amerika.) Teknologi BAE dari Beatnik Inc, startup yang didirikan Thomas Dolby, digunakan di “over half the world’s mobile phones” sehingga menjadikan Beatnik sebagai “the most-heard synthesizer in history”. Ada pula cerita bagaimana ringtone legendaris di ponsel Nokia yang kelak sering disebut “Nokia Waltz” ditemukan sekitar 1992-1993. Demi meminimalisir risiko bermasalah soal hak cipta, mereka sengaja memakai karya komposer yang sudah meninggal dunia. Ringtone Nokia Waltz itu mencuplik satu bagian kecil di komposisi gitar klasik “Gran Vals” karya komposer asal Spanyol, Francisco Tárrega (1852-1909), karena seorang teknisi lab bilang, “He’s been dead for 150 years.” Bagian ini, ada di halaman 278, betul-betul bikin saya ngakak. Orang yang sedang mereka bicarakan di situ sebetulnya belum selama itu meninggalnya (baru delapan dekade), tapi kita bisa mengerti poinnya! (FYI, Tárrega inilah yang komposisi “Recuerdos de la Alhambra”-nya dicomot Harry Roesli untuk dijadikan lagu “Roda Angin” di piringan hitam Philosophy Gang (1973), dengan lirik diisi Harry Roesli memakai terjemahan plek-plekan dari lagu “Shall I Fail” (1972) dari Skylark.) Thomas Dolby terlahir bukan dengan nama Dolby, dan di buku ini diceritakan asal muasal dia memakai moniker itu, termasuk bagaimana dia akhirnya musti berurusan di pengadilan soal pemakaian nama tersebut dengan keluarga pemilik Dolby Lab, tepat setelah dia menulis scoring untuk film Gothic (1986). Reputasi Thomas Dolby memang bukan orang sembarangan, tapi yang bikin memoir ini menarique adalah bagaimana dia banyak bercerita mengenai, meski cuma selintas-pintas, pengalaman dia menonton gigs setempat di London ketika dia masih bukan siapa-siapa. Kala itu dia hanyalah remaja putus sekolah—dia berhenti sekolah di umur 16 dan tidak berminat kuliah, padahal ayah dan kakeknya profesor Cambridge—dan bekerja menjadi penjaga toko sayur dan buah bersama rekan kerjanya, Brian, yang sangat menggilai musik punk. Brian mengajak Thomas menonton konser The Police setelah membaca profil band itu di Record Mirror, “punk rockers from Newcastle”, dan Thomas mengabadikan momen itu dengan menulis bahwa band itu cukup bagus, meski sesungguhnya ketika itu tidak seorang pun betul-betul mengerti apa itu punk, “[…] any band that didn’t have long hair or flared trousers was a punk rock band.” Haha! Thomas menganggap dirinya lebih masuk ke kategori “electro boys”, mengotak-atik synth pertamanya (“a synth module, a kit synth, DIY job”) yang dia pungut dari sebuah garbage dumpster di belakang toko EMS Synthesisers. Dia rekam dari radio ke kaset kosong lagu-lagu yang diputar John Peel malam-malam seperti The Clash, Richard Hell and the Voivoids, Jonathan Richman and the Modern Lovers, Siouxsie and the Banshees, dsb., dan dia merasa selera musiknya lebih cocok dengan band-band seperti Pere Ubu, Cabaret Voltaire, The Normal, dan Throbbing Gristle. Khusus nama yang terakhir, Thomas menuliskan ingatannya lewat kalimat-kalimat ringkas (ini juga kelebihan tersendiri dari buku ini) mengenai satu pertunjukan mereka, “Their manic frontman had a little dictaphone tape recorder loaded with chaotic noises and he held it up to his mic, cupping his hands like a harmonica player…” sambil menggambarkan visual macam apa yang ditembakkan dari proyektor film 8mm ke tembok di belakang mereka, “I felt like I’d found my people.” Bagian kedua buku ini berfokus pada sepak terjang Thomas Dolby di dunia startup. Menurut dia, bukan Steve Jobs yang menemukan iPod, melainkan seseorang yang pernah menyewa satu kubikel di markas Thomas Dolby dan menciptakan prototype iPod di situ sebelum akhirnya dia kehabisan uang, lantas bergabung dengan Apple! Di bagian ini ada banyak cerita soal persinggungan Thomas Dolby dengan nama-nama besar di dunia IT dan revolusi musik digital seperti Bill Gates, Napster, dsb. Dari anaknya, atau lebih tepatnya teman anaknya, Thomas baru sadar lagu Backstreet Boys “I Want It That Way” (1999) yang meledak itu mirip dengan melodi lagu dia, “I Love You Goodbye” (1992) dari album Astronauts & Heretics, yang kasetnya juga dirilis resmi di Indonesia. Lucunya, teman anaknya itu mengira sebaliknya. Ujar si anak, “Daddy, my friend John says you stole a song from the Backstreet Boys. Did you?” Hahaha. Thomas Dolby sempat menjadi music director di TED Conferences di tahun-tahun awal dan baru berhenti dua belas tahun kemudian. Seperti banyak fase di karir panjangnya, dia lebih “preferred TED when it was small. Small is beautiful. They ought to carve that on my tombstone.” Kini Thomas Dolby adalah profesor seni yang mengajar musik dan film di Johns Hopkins University di Baltimore, US. Menarik juga bahwa pada akhirnya dia meneruskan tradisi akademik yang turun temurun di keluarganya, meski dengan cara yang sama sekali berbeda. Sayangnya buku ini tidak dilengkapi indeks, padahal nama dan peristiwa yang disebutkan di dalamnya cukup banyak. Mungkin Thomas mengamini perkataan salah satu karakter di sebuah buku Kurt Vonnegut, “Never index your own book.” Karakter yang sama juga mengatakan betapa indexing adalah hal yang dilakukan penulis paling amatir untuk bukunya sendiri. Haha. Di buku Chronicles-nya Bob Dylan (2004) juga tidak ada indeks. Tapi saya perhatikan Oliver Sacks, penulis yang buku-bukunya banyak saya baca karena tema-temanya kerap memikat perhatian saya, melengkapi memoirnya yang berjudul Uncle Tungsten: Memories of a Chemical Boyhood (2001) dengan halaman indeks. Begitu pula Chaplin di bukunya, My Autobiography, 1964. Dan itu sangat membantu saya dalam menyelami alam pikiran penulisnya. Di beberapa halaman buku Uncle Tungsten bahkan ada catatan kaki, sesuatu yang justru dihindari oleh Charles R. Cross saat menulis biografi Kurt Cobain yang sangat terkenal, Heavier Than Heaven (2001). Di pengantar edisi commemorative cetakan tahun 2014 Cross menulis, “As a reader, I don’t like footnotes within text, as I feel they take me away from the trance I hope to enter, and from the pictures I paint in my mind as I read biography.” Masing-masing penulis mungkin memang punya mantranya sendiri, dan itu bisa sangat berbeda atau malah berkebalikan satu sama lain. Bagi saya pribadi, bagian terbaik dari memoir Thomas Dolby adalah ketika dia secara kasual menyebutkan satu artikel di majalah National Geographic yang pernah dia baca, tentang burung-burung di Copenhagen mulai menirukan suara ringtone “Nokia Waltz” yang dulu dia ciptakan, seperti halnya burung-burung makaw di Indonesia mulai menduplikasi bunyi ‘ceklik’ dari kamera-kamera SLR yang memotret mereka. I felt like I’d found my people.

___
The Speed Of Sound: Breaking The Barriers
Between Music And Technology, a memoir
.
Thomas Dolby, 2016, 305 halaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *