Seorang kawan mengunggah ke akun medsosnya, satu foto dari halaman buku Trocoh yang sedang dia baca, sambil saya dijawil di captionnya. Kawan saya ini cukup serius mendalami lagu-lagu pop Indonesia dari era ’70-’80an, seperti Bimbo dan Favourite’s Group. Saya suka tulisan-tulisan di blog dia itu. Di halaman buku yang dia foto itu saya menyebut sekilas soal lagu-lagu Indonesia dengan kata ‘jambu’ di liriknya. Dari situ dia jadi teringat lagu A. Riyanto yang berjudul “Lembah Biru”, yang dia anggap bertanggung jawab menyodorkan imaji “hutan jambu”, yang belum pernah dia temui seumur hidupnya. “Apakah Mas Budi pernah berjalan menembus hutan jambu? Mohon pencerahannya, terima kasih.” Di saat kurang lebih berbarengan, seorang kawan lainnya mengirim foto buku saya via WhatsApp, tepat di halaman yang sama! “Lirik lagu KLa Project “…bulan merah jambu…” tentu nggak masuk itungan ya Mas?” ujar si pengirim WA. Menurut saya, frasa di lirik KLa Project “Tak Bisa ke Lain Hati” itu memang lebih mengingatkan saya pada judul “Pink Moon” dari Nick Drake ketimbang nama buah. Sementara soal “Lembah Biru”, saya ingat dulu hampir memasukkan lagu ciptaan A. Riyanto yang orang Solo itu ke dalam esai saya tadi, tapi waktu itu pikiran saya telanjur menjalar ke mana-mana. Salah satu overthinking saya ketika itu adalah, kenapa ‘hutan jambu’, bukan ‘kebun jambu’? Apakah imaji kebun dirasa kurang kuat dalam mendramatisir proses kencan dua insan manusia yang sedang dimabuk asmara, “berjalan menembus hutan” menuju lembah biru? Menembus hutan pastinya terdengar lebih heroik ketimbang hanya menembus kebun! Tapi, bagaimana jika (tentu ini hanya spekulasi, tapi please hear me out) itu ternyata, okelah memang ‘hutan’, tapi awalnya adalah ‘hutan bambu’, yang karena satu dan lain hal lantas diubah menjadi ‘hutan jambu’? Meski di kaset dan piringan hitam Bimbo Indonesia Antik Vol. 2 (Remaco, 1976) terdengar jelas ‘hutan jambu’, versi video karaoke Bimbo malah menuliskan ‘hutan bambu’ (Freudian slip?) pada teks lirik yang muncul di layar! Frasa hutan bambu memang terdengar lebih lazim, walaupun imaji hutan bambu di kepala saya adalah tempat bersarangnya ular, atau bahkan jika berdasarkan atas apa yang pernah saya baca dari status seseorang di Facebook, penduduk setempat di sebuah pulau di Indonesia timur punya tradisi tua meletakkan mayat-mayat orang meninggal di sela-sela pepohonan bambu di hutan. Di ranah seni pun, sastra misalnya, imaji ‘hutan bambu’ lebih sering saya dapati dalam atmosfer cenderung kelam, seperti di puisi Afrizal Malna (1983) atau di novel Seno Gumira Ajidarma (2007). Yang tidak kelam mungkin adanya cuma di brosur-brosur wisata. Misalnya Arashiyama Bamboo Grove di Kyoto, atau lorong entrance sebuah hotel mewah di Seminyak, Bali. Dan jika ‘hutan bambu’ ini digabungkan dengan imaji ‘bunga’ (misalnya, saya cuplik dari lagu “Lembah Biru” tadi itu, “…lembah penuh dengan bunga biru/di tengah harum bunga…”), maka yang langsung muncul di benak saya justru kengerian di Mizoram, sebuah landlocked state di northeastern India, perbatasan dengan Myanmar dan Bangladesh: di sana, setiap 48 tahun sekali (!) bambu-bambu akan berbunga, dan itu berarti bencana. Tikus-tikus akan bermunculan dan memakan bunga-bunga bambu itu, lalu beranak-pinak secepat kilat, dan dalam waktu singkat terjadilah ledakan populasi tikus. Sawah ladang penduduk jadi gagal dipanen, ikut hancur dimakan dan dirusak oleh puluhan ribu tikus tadi. Bencana kelaparan pun terjadi. Bunga seringkali diidentikkan dengan keindahan, namun di Mirozam munculnya bunga yang satu itu malah bikin suasana berubah menjadi mencekam. Ada banyak catatan soal fenomena langka dan berpola ini dari tahun 1959, juga sebelumnya, 1911, dan saya selalu merinding tiap kali membacanya. Sekitar 2007-2008 dulu, saya ikut deg-degan nggak jelas dan mencari-cari update di internet apakah akan terjadi lagi the rat outbreaks and plague itu, karena saya nggak yakin masih bisa menyaksikan siklus yang sama kelak di tahun 2055. Sekitar pertengahan 2007 itu keluar album The Good, the Bad & the Queen—saya mendapati CD itu dijual di Aksara Citos—yang salah satu lagunya, “Green Fields“, liriknya “We saw the green fields/ Turn into stone/ Such lonely homes…” Saya makin mual membayangkan hutan bambu di Mirozam. Mungkin “hutan jambu” memang lebih aman untuk sebuah lagu pop? Saya nggak pernah melihatnya di dunia nyata apalagi “berjalan menembus”-nya. Di tahun 1977, lagu “Lembah Biru” itu dicover dalam bentuk instrumental di piringan hitam Musik Santai bersama Yockie (God Bless), dan hanya ada gumaman “haa-a-aaa” di permulaan dan di tengah-tengah durasi lagu, sehingga lirik “hutan jambu” (atau “hutan bambu” *ngeyel :p) tidak terucapkan di situ. Lucunya, kelak ada orang Solo lainnya bernama Didi Kempot merilis lagu berjudul “Jambu Alas” (alias ‘jambu hutan’—apakah ini berarti jambu liar di hutan..jambu?), tapi seperti biasa frasa itu hanya menjadi bagian dari modus sampiran ala pantun, “jambu alas kulite ijo…” (jambu hutan, hijau kulitnya), demi ekspresi kegundahan khas lagu-lagu Didi Kempot mengenai kisah cinta yang selalu kandas—kali ini “…sing digagas wis nduwe bojo” (yang didamba-dambakan kok ya sayangnya udah taken).
*
__________
[UPDATE] Sandya kemudian membalas di kanal comment sebagai berikut: Wah, terima kasih Mas atas jawabannya, yang bikin saya penasaran ingin nyobain “jambu alas” yang mungkin asalnya dari “alas jambu”? Sebenarnya saya pun dulu berpikir bahwa mungkin lirik aslinya “hutan bambu”, tetapi para penafsir pertama lagu “Lembah Biru” ini mungkin kepleset atau mungkin kurang familiar dengan bambu-bambuan. Akan tetapi, kekurangfamiliaran ini juga agak mustahil, mengingat para penafsir pertama lagu ini, misal The (New) Rollies dan Bimbo, adalah sebagian besar orang Jawa Barat (Bandung dan sekitarnya) yang seharusnya familiar sekali dengan imaji bambu-bambuan. Mungkin Mas Keliek pun tahu bahwa mereka salah, tapi dibiarkan saja karena imaji yang ditimbulkan “hutan jambu” ini jadi unik. Mengenai jambu atau bambu dan VCD karaoke Bimbo itu pun, kedua orang tua saya dulu pernah berdebat. Alm. bapak saya bersikukuh bahwa lirik yang tepat adalah “hutan bambu” karena demikianlah tertulis di layar dan itulah yang dimaksudkan oleh A. Riyanto. Mana ada coba “hutan jambu”?, begitu kira-kira kata bapak. Pasti semua penyanyi ini salah menafsir liriknya Mas Keliek. Almh. ibu saya bersikeras bahwa yang benar adalah “hutan jambu” karena semua versi yang beliau dengar menyebut “hutan jambu”, termasuk versinya Andi Meriem Matalatta yang syahdu itu. Mungkin jawaban yang lebih sahih bisa kita dapatkan dari versinya Mus Mulyadi. Seperti kita tahu, Mus Mulyadi tentu saja adalah artis golongan tier 1-nya A. Riyanto, mengingat mereka dulu bersahabat dan pernah cukup lama ngeband bareng di The Favourite’s Group. Jika ada penyanyi yang bisa menafsir dan menyanyikan lagu A. Riyanto dengan akurat, Mus-lah orangnya, bukan? Nah, sialnya “Lembah Biru” versi Mus Mulyadi ini cukup obscure, sulit ditemukan secara dijital. Walaupun mungkin pernah disertakan dalam rilisan-rilisan lain, satu-satunya kaset yang saya punya dengan lagu “Lembah Biru” versi Mus Mulyadi adalah rilisan berjudul (kalau tidak salah) The Best of Mus Mulyadi and The Favourite’s Group, yang kalau ditilik dari desainnya, kemungkinan besar berasal dari akhir 1980an atau awal 1990an. Sialnya, kaset ini termasuk salah satu yang masuk gudang selama saya merantau. Sialnya lagi, saya lupa apakah Mus bernyanyi “hutan bambu” atau “hutan jambu”. Jadi, jawabannya harus menunggu saya bongkar gudang dulu. Akan tetapi, mengingat hari ini gerah sekali seperti kemarin, saya memutuskan menunda membongkar gudang dan mengalihkan fokus untuk mencari jambu air segar yang bisa dipesan secara daring. Jadi, sampai jumpa lagi setelah saya bongkar gudang.
Thank you Sandya!
BTW “Sapu Tangan Merah Jambu” itu produk Sala eh Solo, kan? 😇
waduh, sedih itu akhir hidupnya :((