(mungkin mengandung spoiler)
Persis di hari Friday the 13th kemarin di mana bulan purnama sedang bulat-bulatnya, saya malah teringat kembali tokoh Ghazul di film Gundala-nya Joko Anwar (2019), diperankan oleh the one and only Ario Bayu. Menurut saya Ario Bayu adalah salah satu aktor terbaik Indonesia dengan jatah-jatah peran yang kerapkali memble, tapi begitu dia dapet karakter yang pas, bakal nampol banget pake BANGET. Ghazul di film Gundala versi 1981 adalah W.D. Mochtar, yang agaknya memang dibayangkan mentah-mentah dari karakter Ghazul di komiknya. Tapi W.D. Mochtar ya pastinya begitu aja nggak sih di sepanjang filmography dia, metode penghayatan antagonisnya ketebak bingits? Di komik, tangan Ghazul diganti pakai besi gara-gara kecelakaan, dan W.D. Mochtar pun dibikin begitu juga. Sementara versi Ario Bayu nggak, atau mungkin belum. Ario Ghazul pertama kali nongol di layar tanpa bersuara ketika Dirga Utama si anggota dewan termuda sedang terikat erat-erat di kursinya (denotatif sekaligus konotatif), di bawah kendali hipnotis “Sare..!” yang lebih ke ‘sare’ langgam Sunda ketimbang ‘saré’ langgam Jawa! Yo iyo noo! (Ekspresi dalam bahasa Jawa yang artinya kurleb “Ya iya lahh!”) Ario Ghazul terlihat cool di situ. Perhatikan bagaimana relasi antara dia dengan si Pengkor (digambarkan super seram) sebetulnya lebih ke level setara ketimbang vertikal hierarkis, meski kalau di mobil si Ghazul duduknya di kursi depan tapi bukan supir, sementara si Pengkor ada di belakang. Bukankah Ghazul hanya sedang mengamalkan wisdom ilmu slamet yang turun temurun diyakini di keluarganya, yakni “tahu kepada siapa harus setia”, terutama demi agenda terselubung doi yang ternyata jauh lebih besar dari ‘sekadar’ kemarahan Pengkor (“ironi terindah”, “adikarya saya”) pada dunia? Laporan Ghazul “ingkêng pratiyudha wus têkèng” (si musuh yang siap berperang sudah datang) kepada supervillain legendaris yang beratus-ratus tahun terkubur di balik tembok sebuah museum yang lebih sepi dari kuburan di malam hari, dilakukan dalam posisi laku ndhodhok di lantai yang salah satu areanya bertuliskan “purbakala” dalam aksara Jawa gede-gede. Ada juga deretan aksara Jawa kecil-kecil di tembok museum, saya belum sempat mengejanya lengkap di layar bioskop karena adegannya cukup singkat sementara saya masih plêkak-plêkuk membacanya (berarti perlu nonton lagi?). Beberapa hari lalu di twitterland sempat saya baca ada yang bilang itu semacam “mêngsah bêbaya kagêm manungsa”, alias musuh manungsapiens yang berbahaya, dan yang paling berbahaya menurut Ghazul adalah: kebenaran yang disembunyikan. Konsep kebenaran sendiri sebetulnya sudah cukup berlapis-lapis, dan dalam semesta filosofi Jawa, itu akan semakin berlapis-lapis dan lebih rumit lagi, karena yo iyo nooo, lha wong ‘no’ aja bisa berarti ‘yes’ di semesta jawir, apalagi kalau diumpetin! Masih dalam sikap takzim Ghazul berkata, “hanging titah dèrèng uninga titah sapa”, artinya si doi (Sancaka) sendiri bahkan belum ngeh doi itu siapa (Gundala), tapi Ghazul bahkan sudah tahu soal Gundala di era purbakala sebelum Gundala di era Sancaka? Kode-kode seperti “petir selalu ngincer gue”, sosok berambut panjang di mimpi-mimpi buruk Sanciki, juga petuah terakhir Pak Agung (figur ini mirip karakter Gito Rollies di Janji Joni, sosok orang tua yang lebih dipercaya untuk didengarkan ketimbang kedua orangtua), “Apa yang kau butuhkan ada di dalam dirimu, Sancaka!” adalah sajian encoding/decoding di semesta Gundala ala Jokan, segala permainan dhêlikan (atau jélungan, petak umpet) itu mirip trik klasik pesulap di mana kita disodori terlampau sedikit demi mendapat sensasi lebih besar, dan risiko dari permainan-permainan takar menakar porsi ini, kalau menurut istilah seorang teman, adalah mempertaruhkan clarity di departemen skripnya. Apa iya? Sebagai fanboi kasual peyek teri yang gurih dan bikin nagih, juga pelahap komik-komik lawas Gundala, saya pribadi merasa fine-fine aja dengan delivery cerita di film ini; semua begitu terang benderang, dan yeah, asyik-asyik aja tuh. Menarik juga mengamati segala riuh rendah à la sirkus pasar malamnya itu (gebyar karakter aneka rupa yang ditumpuk di sepertiga malam terakhir), mengingatkan saya pada atraksi tong setan pakai sepeda genjot di Sekaten Solo circa 1989 (semacam sensasi yang mungkin nggak perlu-perlu amat tapi seru juga ternyata), begitu pula tafsir-tafsir Jokanian yang dengan cerdik dan berani mengganti latarbelakang sosial ekonomi Sancaka dari ilmuwan menjadi sekuriti, ledekan-ledekan soal kelas “uang kita kan masih banyak di atas kulkas!”, ketidakpercayaan Jokan pada konsep keluarga (beserta ilusi keharmonisannya; nyaris semua keluarga di film-film Jokan selalu digambarkan ambyar dan di film Gundala pun hanya karakter Ridwan Bahri yang keluarganya kelihatan baik-baik saja), bahkan dengan injeksi menarik seperti sosok si penyair Kopaja yang sekilas mirip kombinasi Joan Jett + Patti Smith versi lebih bingung dan cemasnya (“ada ratusan perbedaan yang bisa jadi alasan kita saling benci!”), juga sosok mafia di belakang anggota parlemen, pelokalan metode meracun sistem air minum kota à la villain-villain Barat jadi persediaan beras negara, konflik-konflik horizontal antar rakyatnya, upaya-upaya Jokan mengulik potensi asali si Gundala supaya lebih bunyi lagi (beresonansi!) pada kahanan negeri hari-hari ini, dsb., dst., bukankah itu memang modus/modul khas Jokan, meski jebakan betmen-nya kalau meminjam istilah seorang teman yang lain lagi, bisa terpeleset jadi self-righteous? Apa iya? Semua tentu bisa diperdebatkan, dan itu tidak mengurangi (malah menambah!) minat saya untuk menonton lagi dan lagi film Gundala ini. [Update terakhir: saya 4x menonton film ini di bioskop—tiga kali di Bandung dan satu kali di Solo—dan makin lama terasa makin keren!] Miscellaneous: ledekan “Kamu mau jadi apa, insinyur, seniman, atau ilmuwan?” di kepala saya malah terbaca seperti nama-nama fakultas di bawah pajung fantasi tjap gadjah era late ’90s, FTI/FTSP/FIKTM, FSRD, FMIPA. Sementara ledekan soal business rebranding yang (*insert sticker WhatsApp di sini) aneh-tapi-nyate “Mau dulunya pabrik genteng sekarang percetakan, tetep aja butuh sekuriti!” terdengar koc(l)ak banget di kuping saya. Haha. Tentu kita bebas milih mau suka/tidak suka pada satu jurus ledek-meledek, karena faktor pengalaman personal orang per orang (ratusan perbedaan!) benar-benar bisa jadi alasan sahih untuk mengangguk/menggeleng. Apakah #AkuSihYes karena tiap kali pulang dari bioskop untuk kesekian kalinya saya selalu pengen muter lagi satu plat lawas dari dekade 1960an, yakni tepat di lagu “Krontjong Petir” dalam alunan suara Isnarti, yang tentu nggak ada di daftar soundtrack apalagi di filmnya? Juga membuka-buka kembali kertas-kertas lapuk terutama di episode bromance benci tapi rindu Gundala vs. Godam, pasca Awang-remaja-berambut-polem? “Sapuannya maut meck!”