Di kampung halaman saya dulu pernah ada setidaknya dua tipe gambar umbul ditilik dari desain di sisi sebaliknya: 1) gambar umbul berpunggung lirik lagu, dan 2) gambar umbul berpunggung rambu-rambu lalu lintas. Sekitar 1987-1988, tipe pertama sudah mulai jarang ditemui di warung-warung sekitar rumah. Untuk mendapatkannya, kita musti blusukan ke warung-warung kecil, dan makin tua warungnya, makin besar kemungkinan tipe itu masih tersedia. Terkadang stok-stok lamanya terselip di pojokan etalase kaca paling bawah, di antara botol-botol temulawak, lem kertas dan busur derajat, obat nyamuk bakar, kembang api, dsb. Lirik-lirik yang tercetak di punggung gambar umbul biasanya dari lagu-lagu pop cengeng, dengan font sangat mungil. Seringkali saya harus menyorongkan lensa suryakanta berbahan semi-plastik (saya beli dari penjual mainan keliling di depan SD) bukan cuma untuk membantu penglihatan, tapi juga demi sensasi sinematik bagaimana teks lirik itu bergerak-gerak lucu sesuai zoom in/zoom out dari lensa abal-abal itu, dengan diiringi musik yang otomatis berkumandang di kepala. Tipe gambar umbul yang seperti itu biasanya saya simpan baik-baik, saya eman-eman banget alias nggak sembarangan saya keluarkan sebagai gacuk (bahasa Jawa, artinya kojo, gacoan) dalam laga umbul melawan teman-teman sebaya. Cara main umbul: gacuk-gacuk yang mau dipertandingkan itu ditumpuk, kita jepit di antara telunjuk dan jari tengah tangan, lalu dilempar ke udara. Skor dihitung dari berapa jumlah gambar umbul yang mendarat ke tanah dengan posisi mlumah, yaitu si gambar terlentang ke atas. Sebaliknya, kalau posisinya telungkup alias si punggung menghadap ke atas, berarti dia kalah atau mati. Salah satu lingo lokal yang khas dari duel lempar gambar itu, setidaknya di kampung saya di pelosok Jateng, “Dus ji-ro-jen!”, tiba-tiba nyelonong begitu aja di benak ketika saya tadi beres-beres rumah sambil sesekali ngecek handphone. ‘Dus!’ boleh jadi adalah onomatopoeia dari imagined sound bagaimana gambar-gambar umbul itu mendarat keras membentur permukaan tanah atau lantai. Sementara ‘ji’ dan ‘ro’, kependekan dari ‘siji’ (bhs. Jw., satu) dan ‘loro’ (dua), diambil dari angka kemenangan gambar umbul kita atas lawan (1-0, 2-0). Istilah ‘jen’, dibaca jèn, kependekan dari ‘jèni’, seingat saya dipakai untuk mengekspresikan situasi gambar umbul yang mendarat hidup-hidup. Siasat gambar dêmblèk (yakni merekatkan dua gambar umbul yang sama percis, back-to-back pakai lem serapih mungkin) supaya gacuk kita terus-terusan mlumah sehingga menang selamanya, juga langsung menyala-nyala kembali di kepala saya. Biasanya kalau cara curang itu (bahasa Jawa-nya: ‘urik’) ketahuan oleh lawan-lawan kita, mereka akan langsung teriak, “Woo, urik! Urik! Jebule demblek!” Hahaha. Untuk tipe gambar umbul berpunggung rambu-rambu lalu lintas, salah satu yang saya ingat adalah yang menggambar ulang serial kartun di televisi kala itu, seperti Kura-kura Ninja, The Centurions, MASK, dsb. Gambar umbul The Centurions, di panel pertamanya, pada gambar nomor 1 yang terletak di pojok kiri atas dari deretan 6×6, tertera judul “Kelompok Centurion” (yes you read it right, memang zonder ‘s’ di versi ini) dengan tambahan teks, semacam tagline, “Pembasmi Kejahatan Kaliber Dunia!” Serial The Centurions, yang di era 1990an diputar di TVRI setiap hari Minggu pukul setengah lima sore WIB, adalah persinggungan pertama saya dengan narasi cyberpunk. (Tentu saat itu saya belum tahu istilah tersebut.) Pengertian paling sederhana dari cyberpunk adalah “high tech, low life”, tapi di gambar umbul Kelompok Centurion tadi cuek saja ditambahkan satu unsur lain yakni mysticism, yang lokal banget, dalam wujud dukun (!) yang [sic] “menggunakan kekuatan magic” berhasil menundukkan dinosaurus (!!) dari sebuah gunung berapi untuk dijadikan robot oleh Doc Terror. Dari semua jenis gambar umbul, favorit saya adalah yang berisi reka ulang peristiwa-peristiwa aktual yang menyita perhatian media kala itu, seperti laga tinju Ellyas Pical di layar kaca. Untuk yang satu itu saya lupa apakah di panel terakhir umbul (nomor 36) tergambar Gunung Kelud seperti kebanyakan umbul yang beredar di sirkel saya saat itu, ataukah diisi pose Pical nyengir dengan tangan terkepal ke udara setelah merobohkan Cesar Polanco di partai rematch mereka di Istora Senayan Jakarta, 1986. Saya ingat membaca berita kemenangan Pical itu di kios cukur langganan di dekat stasiun, yang memang selalu menyediakan setumpuk majalah di kursi tunggu meski hanya majalah-majalah berbahasa Jawa. Kebanyakan majalah Jayabaya. Rubrik puisi di situ, istilahnya ‘geguritan’, pernah memuat karya kakak saya sekitar awal ’90an. Sebagai adik yang turut bangga, saya membawa pulang edisi geguritan itu dari kios tukang cukur ke rumah dan malah kena damprat penulisnya. Hehe. Bertahun-tahun kemudian saya coba menelusuri edisi-edisi lama Jayabaya demi bisa membaca kembali berita tinju Pical tadi itu, tapi hasilnya nihil. Rupanya selama ini saya salah ingat. Berita yang dulu saya baca itu ternyata bukan di Jayabaya, melainkan di Panjebar Semangat! Saya baru ngeh beberapa waktu lalu, ketika seseorang mengirimi saya satu bundel lawas Panjebar Semangat sebagai bonus dari belanja di lapak bukunya. Saya buka-buka halamannya, lho kok ada berita kemenangan Pical. Ya ampun, akhirnya ketemu juga setelah 36 tahun berselang! Foto di majalah itu mengabadikan Polanco tersungkur KO, dan di caption tertulis bagaimana wasit menghitung “kanthi swara kang seru, supaya bisa ngungkuli gumuruhe surake para penonton kang mawurahan” (dengan suara keras, agar dapat mengalahkan gemuruhnya sorak-sorai penonton yang heboh) dan Polanco baru bisa bangun “ing etungan kang angka 13” (di hitungan ke-13).
“Dus, Ji Ro Jen!”
Leave a reply