Smash-smash Kecil

Dari semua cabang olahraga yang ada di dunia sepertinya cuma pingpong satu-satunya yang saya agak lumayan bisa. Angkat besi kurang cocok untuk pinggang manja saya, catur terlalu hitam putih, dan terjun payung rada ribet nggak sih? Belum kalau rusak, tukang servis payung keliling makin jarang keliatan hari-hari ini. Tenis meja adalah pilihan paling masuk akal karena kaki, tangan, pinggang, bahkan jari semua bisa ikut berpartisisapi tanpa butuh radius gerak terlalu luas. Mejanya bisa dilipat, atau dijadikan meja kerja kalau lagi malas melipat. Bolanya juga bisa beli banyak, sehingga kalau sampai bolanya dekok lantaran smash tajam saya (canda hehe) nggak perlu lagi bola itu direndam di air panas kayak lifehacks akal-akalan ndeso di Jateng sekitar akhir ‘80an, ketika lagu populer dengan referensi bola pingpong justru lirik buruk dari Iwan Fals, “…jangan marah kalau kugoda/ sebab pantas kau digoda/ salah sendiri kau manis/ punya wajah teramat manis…” Lebih mendingan lagu Melisa setahun setelahnya, 1989, “…bakso bulat seperti bola pingpong/ kalau lewat membikin perut kosong…” Kemarin saya menemukan foto satu-satunya dokumentasi yang terselamatkan dari sebuah turnamen tenis meja 2010-2011 yang diikuti oleh teman-teman sekantor dan rekan-rekan sejawat dari instansi terkait via jalur undangan. Dengan sistem gugur, babak penyisihan berlangsung super singkat karena banyak peserta yang WO lantaran kesibukan atau susah dihubungi. Seingat saya yang nongol di hari itu cuma ada M dengan gaya permainan temboknya (semua bola ke arah dia bakal selalu terpental balik), juga O dengan pukulan-pukulan kagok misteriusnya (nggak ketebak speed maupun sudutnya), sementara E si macan karaoke sepertinya absen, begitu pula J si raja penholder grip. Pokoknya tiba-tiba sudah langsung partai perempat final atau malah semifinal. Singkat cerita, tanpa kesulitan saya berhasil maju ke partai final untuk ketemu B, rival bebuyutan saya, yang di semifinal secara mengejutkan berhasil mengandaskan unggulan terkuat saat itu, R, si juara bertahan dengan banyak gelar grand slam di tangannya. Di laga-laga lain saya pernah beberapa kali mengalahkan R yang pukulan-pukulan sinthir nyebelinnya memang kerap menyulitkan lawan, jadi di atas kertas masih ada kans saya mengalahkan B sore itu. B ini terkenal dengan permainan hangat-hangat tahi ayam, kadang oke banget kadang melempem, B di meja pingpong adalah Taufik Hidayat di lapangan badminton. Sore itu langit biru cerah, fisik saya prima dan makan siang pun cukup (maksudnya nggak kebanyakan) jadi saya pikir bisalah saya bergerak lincah, serve like a butterfly, smash like a bee! Rencana saya memang reli-reli panjang, adu kuat adu lama menunggu siapa yang bakal bikin salah duluan (yang dalam bahasa komentator bola, “Terlalu melebaaar…”), pokoknya saya akan kuras habis tenaga B. Tapi rupanya Dewi Fortuna (lawasss) belum menaungi saya sore itu. Boro-boro bermain alot, saya malah dibantai straight set langsung, dan gagal menggondol hadiah pertama berupa kacamata vintage dari sponsor utama turnamen bergengsi ini. “Good game!” ujar saya sportif, menyalami B yang ketawa-tawa senang. Di kepala kami seperti berkumandang suara lantang Freddie Mercury bercucuran keringat mengepalkan tangan di depan 72.000 penonton Live Aid 1985, “…we are the champions, my friends/ and we’ll keep on fighting ’til the end…” Sang kampiun mengenakan kacamata barunya, menstarter vespanya, ngaca bentar di spion lalu meluncur pulang. “No time for losers/ ’cause we are the champions of the world…” Meja pingpong di foto itu sekarang sudah rusak kena hujan (terakhir lupa dilipat), dan sudah bertahun-tahun saya gantung bet. Menatap kembali foto lama itu saya jadi menimbang-nimbang, apakah sekarang ini sudah smashtinya saya comeback ke meja pingpong?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *