Pada pertengahan 1932, seseorang bernama Madonna yang bukan Louise Ciccone (belom lahir keles) mengeluarkan novel percintaan atawa ‘tjerita roman’ berjudul Dr. Lie, terbit di Soerabaia. Bab pertama tajuknya kocak juga, “Pergaoelan Setjara Modern”,dan dari paragraf-paragraf awal sudah langsung mendeskripsikan bakal di lingkungan modern macam apa cerita itu bergulir: pergaulan dokter dan rumah sakit, kendaraan mewah saat itu, 1930an (mobil, atau disebut “auto”—ada sedan Packard, limousine Rolls Royce “..model jang paling baroe… tjoema terdapet satoe-satoenja di itoe kota..”) dan percintaan di villa-villa sejuk. Dikisahkan lika-liku asmara orang Tionghoa dan Europa yang sebetulnya nggak seru-seru amat, di Batavia, meski setting juga berpindah-pindah dari Salemba dan Gondangdia ke Bandoeng, Buitenzorg, Tjiawi, Tjitjoeroek, Rantja-badak, dsb. Di Bab IV, dengan judul sama asyiknya, “Harepan Jang Kandas”, digambarkan bagaimana hiruk pikuknya kota Buitenzorg (kini Bogor) lewat “itoe waktoe rame sekali oleh wara-wirinja kandara’an, seperti auto, vrachtauto, autobus, deelman dan grobak”. Dari buku tua dengan ejaan van Ophuijsen ini setidaknya saya jadi tahu bahwa frase “wara-wiri” yang sering diucapkan oleh penyiar radio FM gaul di kota-kota besar di Indonesia pada dekade 1990an hingga awal millennium baru (early 2000s), rupanya memang betul “wara-wiri” adanya dan bukan sekadar variasi kekeliruan dari “wira-wiri” yang dalam bahasa Jawa memang juga berarti mondar-mandir. (Belakangan baru saya cek di Kamoes Indonesia edisi ‘tjetakan jang ketoedjoeh’ yang disusun oleh E. Soetan Harahap dan diterbitkan oleh Kantor Tjetak Visser Bandoeng, ‘Oktober 2602’ (alias 1942), ada lema ‘warawari’ (dieja tersambung) di halaman 425, yang tertulis: ‘orang warawiri pergi kepasar malam‘, orang pergi poelang kepasar malam.) Harga buku Dr. Lie ukuran kecil setebal 118 halaman ini adalah f 0.75 (alias tiga per empat gulden) saat pertama kali terbit. Sebagai ilustrasi perbandingan harga, saya perhatikan di halaman-halaman terakhir novel ini ada iklan yang mempromosikan “Anggoer Tjap Virgin” di Batavia seharga f 2.50 untuk ukuran 1 flesch besar, dan juga “Sepatoe Boeat Voetbal” di Malang seharga f 6.— per pasang. Sementara dari catatan arsip saya, pada rentang 1934-1937 harga plat gramofon di pasaran lokal saat itu seharga 2.2 gulden, lebih murah ketimbang harga anggur dan sepatu bola.
___