di tahun 2020 kemarin dia mendapati sebuah meme di internet yang kurang lebih mengatakan bahwa jarak dari 1990 ke tahun itu sama dengan jarak dari tahun itu ke 2050, yang diramalkan banyak pihak sebagai tahun kehancuran bumi beserta segala isinya. dia lantas teringat di sekitaran tahun 1990 ada pohon kedondong di pelataran belakang rumah ibunya. batang pohonnya gagah menjulang di masa itu, tegak lurus dengan langit, cabang-cabangnya berpencaran seperti cakar buto ijo yang nggak kenal gunting kuku seumur hidupnya. dia sering membayangkan ada rumah pohon dibangun manis di antara kerumunan cakar raksasa itu, markas persembunyiannya untuk melamun sepanjang hari, tapi seperti banyak mimpi siang bolong lainnya, angan hanyalah angan. meskipun lahan di rumah itu dulunya kebon yang ditanami buah-buahan dan sayur mayur, bisa jadi nggak ada yang mengira pohon dondong itu bakal tumbuh menjadi segigantik ini. ayahnya membangun dapur di area sekitar pohon, dan karena memindahkan pohon sebesar itu pasti repot, dapur yang mengalah. pawon ibunya musti berbagi space dengan wit dondong, yang kalau lagi berbuah pasti dondongnya guedi-guedi dan metiknya harus extra hati-hati supaya nggak jatuh menghunjam atap dapur dan memecahkan genteng-gentengnya. anekdot klasik yang dia ingat dari masa kanak-kanaknya, biji kedondong bisa menghilangkan serak di tenggorokan, serupa sikat wc mengosek lobang kakus. dari kakak-kakaknya dia jadi tahu ada dua cara membelah buah kedondong tanpa harus pakai pisau: (1) lempar sekeras-kerasnya ke tembok rumah sampai buahnya pecah berantakan (dia kurang suka cara ini, brutal dan terlalu frontal), atau (2) jepitkan di antara engsel pintu, rapatkan pintu sampai bunyi krêkkk, si buah masih tetap berbentuk meski dalamnya sudah remuk (cara ‘halus’ ini favoritnya). konsep remuk njero itu bertahun-tahun terus menghantuinya. dia keluar dari rumah di umur lima belas, ngekos di kota lain dan melupakan pohon dondong itu. rumah itu lantas dirombak, ditambahkan beberapa ruangan, pohon besar tadi lenyap. bangunan baru itu di beberapa bagiannya memakai kayu dari pohon-pohon yang ditanam di kebun belakang bertahun-tahun sebelumnya. dia nggak yakin kayu pohon kedondong bisa dijadikan rèng dan kaso, namun senang juga dia sesekali membayangkan si pohon sebetulnya masih ada, apapun bentuknya sekarang, sebagai bagian tak terpisahkan dari si rumah. dia juga nggak tahu apakah rumah itu bakal tetap ada di tahun 2050 nanti, atau kalaupun masih, mungkin malah dia yang sudah nggak ada. bukankah semua hanya sedang menunggu giliran.
blur – out of time
Jepit pintu itu destruktif. Dan makin merusak setelah pintu sekarang dari kayu lunak. Gak tahu kalo pake aluminium maupun UPVC.
Apa kabar?
iyaa dulu pintu di rumah rasa2nya tipe kayu keras yg kalo ga sengaja njepit driji mayan juga efeknya, hihi. kabar saya gini2 aja mas tyo :p mau serajin mas tyo posting2 di blog tapi kok memble terus dari kemarin :))