Jauh sebelum datang ke Indonesia pada 2002 dan 2011, The Cranberries sebetulnya sudah merencanakan sebuah konser di Jakarta pada 1996. Bagian dari rangkaian tur dunia itu dilakukan untuk promosi rilisan terbaru mereka ketika itu, album ketiga, To the Faithful Departed. Saya ingat di pertengahan tahun 1996 itu saya langsung bergegas ke toko kaset di sebuah pusat perbelanjaan Singosaren, Solo, setelah mendengar single “Salvation” diputar di radio. Saya berangkat dari kos-kosan mengenakan sandal jepit. Bukan langkah bijak. Di eskalator, mungkin karena saya melamun sambil menimbang-nimbang mending beli kaset The Cranberries atau kaset debut Elastica yang rilis setahun sebelumnya (uang saya hanya cukup untuk beli satu kaset), tiba-tiba sandal jepit saya terhisap masuk ke lipatan tangga berjalan dan sempat bikin heboh orang-orang di sekitar terutama ibu-ibu. Jempol kaki saya selamat meski darah segar mengucur di lantai. (Sejak itu saya memilih bersepatu ke mana-mana.) Terpincang-pincang saya masuk ke toko kaset, bertanya apakah mereka punya tissue/kapas. Karena tidak ada, mas-mas penjaga toko kaset yang baik hati itu langsung menyodorkan beberapa lembar kertas untuk mengelap darah itu. Saya tidak tahu apakah dia kemudian dipecat dari pekerjaannya gara-gara itu, karena kertas-kertas tersebut adalah stok poster promosi konser The Cranberries yang seharusnya ditempel di pintu toko kaset! “Rapopo Mas, iki isih ono akeh..” Masih ada cadangan kok, katanya sambil tersenyum. Sampai hari ini saya selalu ingat kebaikan itu, meski sebetulnya tekstur kertasnya tak banyak membantu menyerap darah. Poster itu masih saya simpan baik-baik, yang tanpa rembesan darah tentunya, saya bawa pulang bersama kaset To the Faithful Departed yang saya beli hari itu juga. Itu masih katalog The Cranberries paling favorit saya, album tergelap mereka, yang belakangan saya baru tahu dibikin sewaktu Dolores O’Riordan mulai dilanda depresi dan anoreksia. Usianya masih 24 tahun ketika itu. Rencana manggung di Jakarta pada Juni 1996 yang sudah tersebar promonya itu mendadak dibatalkan akibat cedera lutut Dolores setelah konser di Canberra, Australia. (Ada rumor di internet yang saya baca waktu itu dari warnet tak jauh dari SMA saya di Margoyudan, dia terlalu mabuk di sebuah bar lalu terjatuh di tangga.) Harga tiket konser di Senayan rencananya bervariasi dari Rp 150.000 (VIP), Rp 100.000 (kelas I) hingga Rp 80.000 (festival). Bahkan tiket termurahnya pun masih lebih mahal dari pertunjukan beberapa bulan sebelumnya, yakni konser Green Day di Jakarta, Februari 1996, yang menurut sebagian orang sudah termasuk mahal untuk anak punk lokal saat itu, Rp 60.000. Sebagai gambaran, majalah Hai saat itu harganya masih Rp 3.500. Enam tahun berikutnya, Agustus 2002, The Cranberries akhirnya datang juga ke Jakarta. HTM festivalnya Rp 250.000, di saat harga majalah Hai Rp 12.000. Ketika itu dunia sedang kelabu pasca peristiwa 9/11. Lagu anti-perang “Zombie” tentu saja turut dibawakan di konser tersebut. Dua bulan setelahnya, bom meledak di Bali. Saya teringat lagu “War Child” dari album ketiga mereka, yang mungkin bakal dibawakan di Jakarta 1996 seandainya konser itu tidak batal, “…at times of war/ we’re all the losers/ there’s no victory…”
__