>> BUKU
beserta penggalan kesukaan saya:
Manifesto Flora (kumpulan cerpen Cyntha Hariadi, penerbit Gramedia Pustaka Utama)
__
Asrama dan teater menjadi udara yang kuhirup selama aku menjadi dewasa. Sekolah hanya menjadi kedok yang membuatku gerah karena wajahku yang sesungguhnya terbentuk oleh kehidupan di luarnya, yaitu panggung. Aku mengenakan dan menanggalkan kulit Juliet, Lady Macbeth, Desdemona, Cordelia bergantian dengan mudah, namun dalam diri Blanche DuBois dan Maggie the Cat aku betah. Perempuan-perempuan Shakespeare, malaikat atau setan, nyaman di balik kulitnya sendiri. Mereka mudah mencintai dan dicintai. Perempuan-perempuan Tennessee Williams adalah seperti hantu yang sangat sedap dipandang namun sukar untuk dicintai dan mencintai diri sendiri. Dan yang paling membuat mereka tak bahagia adalah tak bisa mencintai orang yang mencintai mereka. (halaman 97)
Muslihat Musang Emas (kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom, penerbit Banana)
___
Kau menuju ruang tamu. Kakak istrimu tidur mendengkur. Ada siaran wayang kulit dari radio. Kau mengenali suara dalang kesukaanmu Ki Hadi Sugito. Kau sengaja membangunkan kakak istrimu. Ketika wajahnya masih menampakkan kebingungan, dan dari radio terdengar adegan para punakawan yang membicarakan nikmatnya surga dunia, kau menghujamkan pisaumu berkali-kali. Kau tak menghitung berapa banyak tepatnya. Kau puas menyaksikan kehidupan menghilang dari mata kakak istrimu. (halaman 193-194)
we are nowhere and it’s wow. (kumpulan puisi Mikael Johani, penerbit POST Press)
___
Yes, I was funny, wasn’t I. I was good at puns, irony, lies. Now everything is so serious. Grave. As a grave. I don’t feel like funny. I don’t feel like lying. The truth is important again, the cold hard facts of everything, every fucking time. Everything just feels hard, iron-like, iron-y.
I have forgotten how to make fun. (halaman 18)
Non-Spesifik (kumpulan puisi Gratiagusti Chananya Rompas, penerbit Gramedia Pustaka Utama)
___
SAMBIL MERATAKAN ALAS BEDAK, AKU MELIHAT SUAMIKU
setengah berbaring di atas tempat tidur berbicara tentang sebuah cerita karangan lorrie moore. tiba-tiba aku menyadari kalau di dalam situasi seperti ini aku biasanya merasakan dorongan untuk kemudian bertanya sesuatu seperti udah rata belum? atau nggak apa-apa nggak sih pakai ini? hari ini yang keluar dari mulutku kamu udah punya semua bukunya ya? dan setelah suamiku menyebutkan salah satu judulnya aku menambahkan lagi oh ya, itu kumpulan cerita yang sempat kubaca sepertinya hari ini aku akan baik-baik saja. (halaman 53)
Mengirim Mixtape ke Lubang Tikus (kumpulan cerpen Rizaldy Yusuf, penerbit Arkara Press)
___
Tapi ada juga yang masih berkomitmen menjaga kolamnya. Pak Doni, contohnya. Jika ada pepatah “waktulah ujian sebenar-benarnya”, maka Pak Donilah lulusan terbaik. Ia membuktikan bahwa di antara ‘Doni’ dan ‘kolam’ tidak ada kata ‘tren’. Kalau semua orang selalu mendapat pekerjaan berdasarkan hal yang paling dicintainya, Pak Doni pasti jadi Menteri Perikanan. Sayangnya tidak. Pak Doni tetap menjadi Pak Doni, pegawai Pertamina, dan kolam ikan hanya menjadi bagian dari masa lalu, bergabung di tempat yang sama seperti kacamata John Lennon, rambut gondrong keriting, sepatu roda, dan semuanya. Tapi fakta bahwa kolam ikan pernah menjadi fenomena di Citra Asih, tidak ke mana-mana. (halaman 34)
Pop Kosong Berbunyi Nyaring: 19 Hal yang Tidak Perlu Diketahui tentang Musik (kumpulan esai Taufiq Rahman, penerbit Elevation Books)
___
Dua ratus juta tahun yang akan datang, gelombang radio dari siaran Radio Java ini mungkin sudah bakal sampai pada ujung galaksi terdekat, dan bisa diterima oleh sarana komunikasi peradaban maju yang ada di salah satu planet di habitable zone mereka. Yang beruntung bisa mendengar siaran itu mungkin akan terpana sambil menggaruk kepala, bertanya kepada diri mereka sendiri; kehidupan primitif semacam apa yang bisa menghasilkan bunyi-bunyi aneh ini. Dalam keluasan kosmos, kehidupan umat manusia adalah interupsi insignifikan dalam perjalanan alam semesta. Homo sapiens baru sadar akan dirinya pada 70.000 tahun terakhir setelah revolusi agrikultur, dan tidak ada jaminan bahwa kita masih akan ada di Bumi lebih dari dua milenium lagi—dengan segala kerusakan yang kita ciptakan, bisa sampai 200 tahun saja sudah sangat beruntung. Sumbangan terbesar Radio Java bagi peradaban mirip seperti cap tangan di sebuah gua di selatan Prancis: bahwa di titik akhir di pasir waktu, kita pernah ada. (halaman 27)
Nick Drake: Sebuah Biografi (Patrick Humphries, terjemahan, penerbit Jungkir Balik Pustaka)
___
Paul Wheeler ingat Nick tertarik dengan headphone waktu pertama kali ngetren, “Dia sangat tertarik dengan kemungkinan bahwa dia bisa mendengarkan lagu di mobil… Barangkali dia telah meramalkan kedatangan zaman orang asyik sendiri, zaman Walkman…” (halaman 139)
* * *
>> MUSIK
Tropical Industries – The Cat Police (self-released)
___
Album terbaik tahun ini menurut saya justru datang dari si pendatang baru ini, unit psych-surf Tangerang pollutant-rock!
Operasi Kecil – Harlan (Parlente Products)
___
Saya punya lagu anak-anak lawas paling favorit sepanjang masa, judulnya “Tukang Kayu” (versi terbaiknya ada di plat warna biru 10” koor anak-anak asuhan Ibu Sri yang diiringi orkes pimpinan Sariman), dan tiap saya mencermati katalog solo Harlan Boer yang penuh nomor-nomor ajaib, termasuk album terbarunya yang bersampul dan berjudul lucu, di kepala saya selalu langsung terngiang-ngiang lagu “Tukang Kayu” dengan sedikit variasi pada lirik, “…katakan padaku/ hey Lou Reed Melayu/ bagaimana caramu/ menulis lagu…” Kadar manis ala pop tebu di EP-EP terdahulu mungkin sudah banyak berkurang di album Operasi Kecil ini, tapi gairah bermain-main Harlan malah kian melesat di sini, seperti pada lagu “Lupa” yang bahkan bikin si kecil (3 tahun) di rumah saya ngakak-ngakak setiap mendengarnya, dan tentu saja lagu “Kerja Itu Liburan” yang bapaknya paling sukai dari CD ini.
* * *
>> FILM
Posesif (Edwin, Palari Films)
___
Saya ternyata tidak cukup banyak (untuk tidak mengatakan sedikit sekali) menonton film-film Indonesia tahun ini bahkan beberapa tahun ke belakang. Ketika film Posesif diputar terbatas untuk sekitar 20 penonton di sebuah ruangan di perpustakaan Kineruku, sempat saya tercekat oleh satu adegan dimana lagu “Dan” dari Sheila on 7 mengalun. Film itu berhasil membuat lagu yang dari sononya memang sudah bagus menjadi lebih bagus lagi, seperti mendorongnya ke level baru, sonically and aesthetically, yang tidak pernah saya duga ada dan bakal terjelajahi. Umur lagu bikinan band Jogja itu sudah 18 tahun, tapi tak kalah segar dibanding satu lagu lain di film itu yang relatif baru dan apa boleh buat memang sangat populer akhir-akhir ini, “Sampai Jadi Debu” dari Banda Neira, duo asal Bandung yang bubar belum lama lalu. Membunyikan sebuah lagu yang sudah terkenal di sebuah film bukan perkara mudah, sepintas terlihat sepele tapi perlu kejelian tertentu yang terbentuk dari pemahaman komprehensif yang bukan melulu teknis melainkan lebih ke filosofis. Edwin berhasil membunyikan “I Just Called to Say I Love You” di filmnya yang lain, Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), sebuah lagu mega-pop di film yang jauh dari pop (saya sebetulnya geli dengan dikotomi pop/bukan pop ini, tapi kita tetap butuh acuan untuk berdiskusi, bukan?); menjadi komposisi yang menghantui sepanjang durasi, bahkan satu elemen solid tersendiri di bangunan estetis filmnya. Adakah yang lebih pintar dari itu? Sementara lagu “Dan” memang tidak muncul terus menerus di film Posesif (yang disebut-sebut sebagai film “pop” pertama Edwin), tapi justru yang secuil-secuil itu, sebagaimana adegan slow-motion loncat indah dan ketegangan-ketegangan yang sumir dan menggemaskan itu, adalah warna paling kuat di koleksi kanvas Edwin yang selalu terpampang di ambang batas ketebak/nggak ketebak. Saya bersyukur pernah hidup di masa ketika ada Edwin di film Indonesia.
* * *
_