5erbaLima #3: Buku-buku dari Masa Kanak

Siang tadi saat mengantar si kecil ke sebuah acara dan membeli balon, saya tiba-tiba teringat satu buku lawas dari masa kanak yang terus menyala di dalam kepala saya sampai hari ini: buku tipis tentang percobaan cahaya dan optik dengan benda-benda sederhana di sekitar kita, tapi saya lupa judul persisnya. Saya dulu membacanya di perpustakaan sekolah. Dari situ saya tahu kita bisa bikin pelangi sendiri dengan dua cara: (1) Semprotkan air dari selang ke arah matahari dengan dihalangi jari tangan sedemikian rupa sehingga semburan airnya berbentuk menyerupai kipas; atau pakai cara yang lebih mudah, (2) Tenggelamkan cermin datar ke dalam mangkuk berisi air yang terpapar sinar matahari. Voila, ada pelangi di matamu. Sejak saat itu saya terkagum-kagum dengan yang namanya matahari. Betapa tergantungnya kita ke dia, tanpa dia jemuran jadi memble dan kita musti berangkat sekolah pakai baju bau penguk. Kalau pagi-pagi si mentari tak kunjung terbit dan sebagai gantinya malah gerimis yang menghampiri, saya jadi cemas oleh permainan peluang-peluang yang sepertinya jarang saya menangkan: apakah hari itu saya harus tetap berangkat sekolah atau dibolehkan bolos? Leher saya pernah ketemplokan ulat bulu dari pohon belimbing di depan rumah, dan bedak gatal tidak cukup membantu. Bentol-bentol mulai menjalar ke seluruh badan, dan rasa ingin menggaruknya sungguh menyiksa. Entah ide siapa, saya disuruh buka baju, lalu dijemur di pekarangan, persis seperti nasi sisa yang oleh ibu mau dibikin rengginang. Bukan bajunya yang dijemur, tapi sayanya, dengan pose memelas yang tidak perlu saya ceritakan di sini. Ajaibnya, bentol-bentol itu terasa mendingan, bahkan berangsur-angsur menghilang bak ditelan matahari. Makin kagumlah saya pada sang surya, yang menyinari dunia. Di buku tentang cahaya dan optik tadi itu ada banyak gambar kaca pembesar, yang di pelajaran IPA biasa disebut suryakanta, dan kebetulan sering ada penjual mainan yang mangkal di depan sekolah menjajakan dagangannya dari atas sepeda. Saya membeli suryakanta mainan dari situ, bahannya plastik murahan tapi berfungsi dengan baik. Rupanya sinar matahari juga punya kekuatan super yang tak disangka-sangka dan karenanya memukau anak kecil: bisa membunuh semut rangrang kalau sinarnya ditembuskan lewat lensa cembung. Kasihan si semut, dia menggelepar meregang nyawa dan saya hanya bisa menyesal. Sebetulnya kalimat-kalimat di atas hanya alasan saja agar saya bisa menuliskan daftar di bawah ini, yakni enam judul buku yang mempengaruhi hidup saya waktu masih imut-imutnya di bangku SD, sekitar 1987-1992, yang sampai sekarang masih sangat berkesan. Dalam bahasa kibul-kibul motivasional, awas siapkan biola, inilah buku-buku yang menempa diri saya, membentuknya jadi seperti sekarang ini. 

[1] Sepakbola Ria (Nunk, Penerbit PT Elex Media Komputindo, cetakan pertama, 1992). Bahkan di cabang olahraga permainan paling populer di negeri ini pun saya kurang mahir. Buku kumpulan kartun dari tabloid mingguan BOLA ini tidak lantas membuat si bocah ceking jadi jago menyepak kulit bundar, tapi gambar-gambarnya menunjukkan bahwa tertawa itu memang sehat. Soal bal-balan kamu cuma pupuk bawang, tapi perkara ngguyu cekakakan kamu bisa paling depan, demikian pikir saya menghibur diri di kelas ketika yang lainnya sedang sibuk di lapangan. Meski kadang melibatkan anekdot sekitar ‘manuk’ alias kemaluan, secara keseluruhan guyon-guyon di buku ini seru, penuh kejutan, dan satu anak pemurung telah terselamatkan hidupnya.

_______________________
[2] Klub Ilmuwan Edan: Monster di Danau Strawberry (Bertrand R. Brinley, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama, 1991). Lebih cool dari Lima Sekawan, lebih rileks ketimbang Trio Detektif. Seperti membuntuti petualangan sekelompok remaja yang suka sains, punya keisengan khas anak kecil dan rasa ingin tahu yang besar, yang semuanya kerap berujung kekacauan. Lagi-lagi ada selera humor yang seru. Seperti kombinasi maut dari juara lomba lawak, gemar belajar IPA dan hobi Pramuka. Ada satu karakter pendukung yang cuma melintas sesekali tapi sangat berkesan bagi saya: seorang pengepul barang bekas bernama Zeke. Di benak anak SD Inpres di pelosok Jateng, orang itu tampak keren sekali. Be careful what you wish for.

_______________________
[3] Keadjaiban di Pasar Senen (Misbach Jusa Biran, Penerbit Pustaka Jaya, cetakan pertama, 1971). Saya suka cerita-cerita yang habis dalam sekali baca, yang ketika dibaca-baca lagi tak butuh waktu terlalu lama, tapi juga bukan yang terlalu sebentar. Buku kumpulan cerpen ini saya ambil dari rak buku-buku sastra punya bapak, karena menurut saya majalah Bobo dan Kawanku isi tiap edisinya selalu terlalu pendek. Sebelum tidur, biasanya setelah siaran Dunia Dalam Berita beres dan tiba-tiba ada Laporan Khusus yang psikologi visualnya selalu absurd, saya sering baca-baca buku ini dan merasa urip iku mung mampir ngguyu. Hidup itu cuma mampir ketawa. Si pengarang tak malu-malu menertawakan diri sendiri dan sekitarnya, para seniman di daerah Senen, dan itu terbaca lucu sekali waktu saya kecil. Contohnya bisa dibaca di tautan ini. Sewaktu SMA, saya baru tahu ada semacam lanjutannya, kumpulan cerpen juga, judulnya …Oh, Film (1973), bukunya saya temukan di loakan belakang stadio Sriwedari. Sama lucunya. 

_______________________
[4] Bahasa Indonesia: Anda Bertanya? Inilah Jawabnya (Yus Badudu, Penerbit CV Pustaka Prima, cetakan ke-2, 1986). Siapa yang pernah memikirkan kata “saudara” ternyata berasal dari dua morfem yaitu “sa” dan “udara” yang jika digabung artinya menjadi “satu perut, satu kandungan”? Info mengenai istilah langka “biras” untuk menyebut hubungan kekerabatan sesama ipar juga menarik. Berikut ini kutipannya dari halaman 23: 

_______________________
[5] Buku Pintar Seri Senior (Iwan Gayo, Penerbit Iwan Gayo Associates, cetakan II, 1986). Pernah di suatu malam tahun baru, saya lupa tahun persisnya, ada kuis “Jari-Jari” yang dibawakan oleh almarhum Pepeng di RCTI. Itu episode spesial, slot waktunya sengaja ditempatkan betul-betul mendekati detik-detik pergantian tahun. Setengah mampus saya menahan kantuk sambil mendekap erat-erat Buku Pintar, karena saya yakin semua pertanyaan kuis yang terlontar di negeri ini pasti ada jawabannya di situ. Ini jauh sebelum ada Google Search (waktu itu adanya Amy Search), dan tepat seperti dugaan saya, pertanyaan tengah malam itu betulan ada jawabannya di Buku Pintar. (Lucunya, Buku Pintar itu ada di rumah saya juga karena sebuah kuis; kakak saya memenangkannya di stand pameran pembangunan di alun-alun.) Dari kuis “Jari-Jari” itu saya terbayang hadiah kulkas, atau uang tunai sekian ratus ribu atau malah jutaan rupiah. Buru-buru saya pencet nomer telepon yang tertera di layar TV, yang sudah saya hapalkan dari berjam-jam sebelumnya. Dan, ini yang tidak pernah saya sangka, ternyata teleponnya sibuk! Berkali-kali saya redial, nadanya tetap sibuk. Sampai tahun berganti, masih nada sibuk. Saya sedih bukan main, terjegal bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi gara-gara telepon tidak tersambung. Belakangan, di dunia yang semakin rumit dan berlapis-lapis ini saya mulai menyadari, betapa ‘tahu’ banyak hal ternyata tidak selalu berarti ‘paham’ semua hal. Berpikir holistik, termasuk bersiap menghadapi kemungkinan tak terduga, sepertinya lebih diperlukan untuk bertahan hidup.

________
Selamat #HariBukuSedunia, teman-teman. Mari terus membaca untuk menjaga kewarasan kita semua.

>> Baca daftar 5erbaLima lainnya di tautan ini.

One thought on “5erbaLima #3: Buku-buku dari Masa Kanak

  1. wawan

    yg fenomenal memang buku “bahasa indonesia: anda bertanya ” itu. saya bayangkan bahwa penanya “ipar vs biras” itu, kalau memang ada, pasti orang yang sangat luas wawasan kebahasaannya. dia menanyakan sesuatu yang tidak banyak digunakan orang indonesia. semoga bukan si penjawab sendiri yg bertanya demi menegaskan keluasan wawasan bhs indonesianya (semoga saya salah hahaha). btw, kalau bukan orang indonesia, terus orang mana yg suka menggunakan kata biras?

    ____
    Hmmm, bertambah satu lagi misteri hidup yang menunggu dipecahkan: adakah konsep kata ‘biras’ juga dikenal di bahasa-bahasa lain di muka Bumi ini, dan jika iya, situasi sosio-kultural semacam apa yang melingkupinya? Akan segera saya update ya Bung Wawan, setelah kemalasan menyelidiki ini mulai bisa dikurangi… :p ~BW

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *