Kaset asyik dari Julian Cope ini, Autogeddon (1994), adalah album solonya yang kesebelas, saya dapatkan sekitar satu setengah tahun dari tanggal rilisnya, di toko kaset langganan saya dulu di Solo. Waktu itu masih ada bus tingkat. Dari toko kaset Aquarius yang berada tak jauh dari Singosaren Plaza saya berjalan kaki ke arah Jl. Slamet Riyadi, sebelum melompat masuk ke double decker warna putih biru punya Damri, bergegas menaiki tangga untuk duduk di kursi atas. (“Lho, kok nggak ada sopirnya!” Aiih, joke lawas.) Tujuan saya waktu itu: menyambangi teman sekelas di SMA, yang rumahnya bertetangga dengan Pak Gesang pencipta lagu “Bengawan Solo” di daerah Palur, Karanganyar. Sekitar tahun 1996 itu saya sering menghabiskan waktu di warnet Jl. Arifin, Solo, yang lokasinya tidak jauh dari sekolah saya (itu salah satu warnet pertama di kota Solo, dan saya sangat antusias dengan kemunculan internet, si “teknologi masa depan” ini) untuk mencari lirik lagu-lagu Barat yang tidak termuat di sleeve kaset, disimpan di disket, untuk kemudian di-print di rumah teman saya tadi itu memakai komputer Windows 95 punya kakaknya. Karena untuk sampai ke terminal Palur dari Jl. Slamet Riyadi ternyata butuh waktu lumayan panjang, selama perjalanan di bus tingkat yang merayap perlahan itu saya tidak cukup sabar untuk tidak menyobek plastik segel dari kaset baru tersebut. Album Autogeddon ini semacam manifesto kegusaran Julian Cope atas budaya kepemilikan mobil pribadi (car culture), yang judulnya terilhami oleh puisi “Autogeddon” karya Heathcote Williams, penyair Inggris yang baru saja meninggal pada awal Juli 2017 lalu. Di track pembuka berjudul “Autogeddon Blues”, Julian Cope langsung merangsek pedas “Your drunken development’s making me sick/Your drunken development’s making me yawn/I shit on your reason/Your rose is my thorn…”, disambung teriakan parau di sepertiga terakhir lagu yang seperti menjurus histeris padahal mungkin tidak. Di nomor-nomor lain, mantan frontman band postpunk The Teardrop Explodes itu bisa juga tampil tenang sesekali dengan bernyanyi lirih sambil memetik gitar lembut di satu lagu, yang ironisnya malah berjudul “Madmax”. Kritik keras Julian tentang obsesi berlebihan orang-orang atas kendaraan bermotor itu salah satunya didasari oleh kecurigaannya betapa segala kenorakan di jalan raya sesungguhnya berkaitan dengan permasalahan ego lelaki. Untuk lagu “I Gotta Walk”, Julian mengisi liriknya dengan komedi pahit, “Here to go, baby/Here to beat Daddy/Here to catch a falling star/Save yourself some money/Run behind a taxi, walk behind a funeral car/Doomy doomy doomy, yet I’m feelin’ gloomy/Still I hate to screw my Ma…” Sementara di lagu “Ain’t No Gettin’ Round Gettin’ Round”, dia terdengar putus asa, separuh mengeluh tapi juga setengah meledek, “I need to get to London + I need to get there fast/But my car is a polluter + it’s messing up my future…” Ada pula nomor-nomor instrumental panjang yang kelak di kemudian hari saya sadari kemiripannya dengan riuh rendah scene underground freak-out di UFO Club era late Sixties di Inggris—yang salah satu pentolannya bernama Soft Machine—dan ketika suara-suara risau tadi itu keluar dari kaset pita analog di atas bus raksasa yang angkuh sekaligus renta, tak ada yang bisa mengalahkan kerumitan sensasi psikologisnya. Tepat seratus tahun sebelum album itu dirilis, yakni 1894, Sri Susuhunan Pakubuwana X mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai orang pertama di Hindia Belanda yang mempunyai mobil. Raja Surakarta itu membeli Benz Phaeton hanya terpaut sewindu dari mobil pertama di dunia (1886) selesai dibuat. Sementara di puisi “Autogeddon” angka tahun yang disebut Heathcote Williams adalah 1885, “In 1885 Karl Benz constructed the first automobile/It had three wheels, like an invalid car/And ran on alcohol, like many drivers.” Saya bayangkan dengan tunggangan bermesin paling mutakhir saat itu (yang sudah diramalkan Jayabaya satu setengah abad sebelumnya, akan datang suatu masa di mana ada “kréta tanpa jaran”, kereta tanpa kuda), PB X berkendara keliling-keliling, mengitari tanah-tanah kekuasaannya. Bukan tidak mungkin dia juga melintasi satu area yang seabad kemudian berdiri toko kaset di situ, yang menjajakan album musik yang salah satunya justru mengecam kepemilikan mobil.
*